KOMPAS.com - Imlek bagi masyarakat Tionghoa adalah sebuah perayaan untuk menyambut pergantian tahun dalam kalender China. Pergantian tahun ini diiringi dengan sebuah tradisi yang masih melekat bagi masyarakat Tionghoa, yakni meramal.
Ramalan atau Ciam si adalah sebuah tradisi kuno untuk meminta nasib dan peruntungan pada setiap pergantian tahun. Pekan lalu, Kompas.com mendatangi Wihara Dharma Bakti atau yang lebih akrab disebut dengan nama Wihara Jin De Yuan.
Memasuki wihara tertua di Jakarta yang usianya sudah mencapai 400 tahun tersebut, samar-samar terdengar suara “klotak..klotak..klotak”.
Suara tersebut datang dari ruangan di bagian samping wihara. Terlihat dua orang wanita paruh baya tengah mengocok batang-batang bambu di dalam wadah yang juga terbuat dari bambu. Mereka tengah melakukan ciam si.
(Baca: Peran Gus Dur di Balik Kemeriahan Imlek...)
Ciam si memanfaatkan sarana berupa batang bambu yang diletakkan pada wadah seperti gelas, yang juga terbuat dari bambu.
Batang bambu tersebut diberi nomor pada salah satu permukaannya. Jumlah batang bambu bisa 60 atau 100. Selain itu, ada dua bilah kayu berbentuk bulan setengah dan berwarna merahyang disebut siao poe.
Salah seorang pengunjung wihara yang juga baru selesai ciam si menyarankan sebelum mengocok batang-batang bambu, sebaiknya terlebih dahulu lakukan sembahyang menggunakan dupa dan tuang minyak pada wadah-wadah lampu.
Setelah itu, ia mengarahkan untuk mengangkat wadah berisi batangan-batangan bambu.
“Ucap nama, umur, tinggal di mana, terus yang mau ditanya apa. Harus fokus tanyanya, yang jelas,” ujar dia.
(Baca: Safari Imlek dan Semangat Ayam Api di Medan)
Setelah memohon, batang bambu boleh dikocok hingga terlontar satu batang bambu yang bertuliskan nomor. Ambil siao poe. Tanyakan kembali apakah betul nomor tersebut adalah jawaban dari permohonan atau pertanyaan yang diajukan. Kemudian lempar dua bilah kayu tersebut.
Jika keduanya tertelungkup, berarti kocokan bambu harus diulang. Jika keduanya terlentang, artinya bisa benar bisa tidak. Jika yang satu tertelungkup dan yang satu terbuka, artinya jawaban tersebut sah.
Langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah mencari kertas dengan nomor yang tertera pada batang bambu. Kertas tersebut berisi syair yang menggambarkan jawaban atas pertanyaan yang diucapkan saat mengocok bambu. Artinya bisa ditanyakan kepada tetua yang ada di wihara.
“Ciam si itu tradisi yang ribuan tahun sudah dilakukan dan sampai sekarang masih dilakukan. Tradisi turun temurun. Kalau ditanya awalnya dari mana juga kita tidak tahu dengan jelas,” ujar Wiguno, salah seorang pendiri Yayasan Wihara Dharma Bakti.
Menurut dia, ciam si boleh dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Siapa saja yang memerlukan petunjuk ilahi boleh datang dan melakukannya.
“Sebenarnya boleh kapan saja tetapi kalau dalam hari-hari sibuk seperti saat sembahyang Imlek ini memang sebaiknya jangan. Istilahnya dewa-dewi juga kedatangan banyak tamu,” ujarnya.
Oleh karena ciam si merupakan tradisi, bisa dikatakan hampir semua orang Tionghoa pernah mencobanya. Seperti Acen (55), salah satu pengunjung wihara yang hari itu melakukan ciam si.
(Baca: Harmoni Tahun Baru Imlek di Kota Berjuluk Serambi Madinah)
“Biasanya saya ciam si waktu Ce It, tanggal 1 di awal tahun baru, dan Cap Go, tanggal 15. Minta petunjuk untuk apa saja. Ada masalah apa, rezeki bagaimana, keluarga, semua bisa ditanya,” ujar Acen (55), pengunjung Wihara Dharma Bakti, seusai melakukan tradisi tersebut.
Ia sebenarnya sudah tidak lagi memeluk agama Buddha. Namun, hingga saat ini ia masih sering melakukan ciam si.
“Sebagai pegangan, petunjuk. Kadang ada juga yang hasilnya seperti mau memberi tahu sesuatu supaya kita jaga-jaga,” katanya.
(Baca: Ada "Serba Pantang" di Imlek, Apa Kata Generasi Milenial Tionghoa?)
Tidak hanya oleh mereka yang tua-tua saja, tradisi ini juga dilakukan oleh mereka yang masih muda. Seperti Yuli (28) yang hari itu datang bersama keluarga.
“Kalau ada yang mau ditanya, enggak yakin jalan keluarnya bagaimana, atau apa saja biasanya ditanya. Tapi yang penting yakin dan jelas mau tanya apa,” kata Yuli.
Harus dengan keyakinan penuh
Wiguno menyarankan ciam si dilakukan dengan keyakinan penuh. Jika tidak percaya, sebaiknya tidak usah mencoba ciam si.
“Kalau mau tanya mesti yakin. Kalau enggak percaya buat apa tanya,” kata Wiguno.
Ciam si tidak selalu hasilnya baik. Terkadang juga buruk, menurut manusia. Namun, Wiguno mengatakan jawaban tersebut harus diterima. Jika baik, ucapkan syukur. Jika buruk, mintalah perlindungan.
“Hasil dari ciam si, baik atau buruk nanti juga akan kembali ke manusianya. Bagaimana perilaku, tingkah laku dia bagaimana,” katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.