Demokrasi membutuhkan kaum demokrat sebagai kolektivitas yang militan. Bukan individu atomistik yang terasing satu sama lain. Individualisme, menurut hemat saya, tidak mampu menangkal radikalisme. Sebab, justru di balik kebebasan individu radikalisme sering mendapatkan tempat persembunyiannya. Kolektivitas militan membutuhkan ideologi komunal-terbuka. Dengan kata lain, demokrasi harus diinjeksi oleh sesuatu dari luar dirinya. Pancasila, saya pikir, dapat berfungsi sebagai antibodi bagi demokrasi melawan radikalisme.
Pancasila tak lain dan tak bukan adalah komunalisme. Dalam salah satu rapat BPUPKI, Soekarno berkata: ”Apa guna grondwet kalau ia tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan, maka karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong menolong, paham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkan tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya” (Yamin, 1959).
Pancasila pun melawan liberalisasi agama yang berujung pada ”egoisme agama”. Soekarno jauh-jauh hari mengingatkan bahwa ketuhanan jangan terjangkiti oleh liberalisme dan menjadi sebentuk ”egoisme agama”. Soekarno berpesan agar bangsa ini bertuhan secara kebudayaan. Bertuhan secara kebudayaan adalah bertuhan yang mengedepankan sifat toleransi, solidaritas, dan keterbukaan. Soekarno berkata, ”Marilah kita amalkan, dijalankan agama, baik Islam maupun Kristen dengan cara yang berkeadaban; ialah hormat-menghormati satu sama lain.”
Lima sila Pancasila harus dibaca dalam semangat kolektivitas yang memagari demokrasi dari kaum radikal. Ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan, dan keadilan adalah ide-ide kolektivitas. Kita tidak pernah bertuhan sendirian. Kita harus bertuhan sambil memelihara solidaritas antarmanusia. Kesatuan pun harus diletakkan di atas perbedaan.
Perbedaan bukan sesuatu yang menepis, melainkan memperkaya kesatuan. Dalam mengelola perbedaan, kita tidak mengambil suara terbanyak, tetapi bermusyawarah untuk mufakat. Terakhir, keadilan harus menjadi acuan di segala sudut kehidupan. Negara tidak boleh membedakan perlakuan terhadap warganya. Semua berhak menikmati hak sosial, ekonomi, dan politiknya. Tak boleh satu pun warga dicabut hak politiknya hanya karena keyakinan yang bersangkutan.
Sekali lagi, malapetaka mengintai di balik kerah baju demokrasi. Radikalisme bukan pepesan kosong lagi. Dalam arena demokrasi nir-ideologi, radikalisme berkembang secara nyaman. Untuk itu, kita memerlukan Pancasila guna mengisi rongga gelap demokrasi. Pancasila sebagai kolektivitas bekerja memisahkan demos dari non-demos, moderat dari radikal.
Dengan kata lain, yang bukan Pancasilais tidak ambil bagian. Terdengar keras? Memang. Sebab, demokrasi yang terlalu lunak justru memanjakan kaum radikal. Kaum yang satu saat membunuh pengasuhnya sendiri.
Donny Gahral Adian
Dosen Teori-Teori Ideologi Universitas Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Radikalisme dan Pancasila".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.