Motif ekonomi menjadi sangat logis untuk politisi yang enggan melepaskan kekuasaannya dengan menyodorkan anggota keluarganya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah R Endi Jaweng juga memperkirakan korupsi dari anggota dinasti politik akan semakin banyak pada 2017.
Sebab, dana transfer daerah meningkat menjadi Rp 764,9 triliun dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 758 triliun.
Transisi demokrasi
Kenyataannya, ujar peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syarif Hidayat, karakter dinasti politik memang cenderung otoriter, eksploitatif, dan koruptif.
Namun, dinasti politik tak lahir tiba-tiba, tetapi muncul dari transisi demokrasi yang tidak dikelola dengan baik dan konsolidasi demokrasi bergerak sangat lambat.
Di masa transisi demokrasi di mana pun, Syarif mengakui, proses yang elitis dan transaksional memang harus diterima.
Sebab, di masa perubahan, hanya elite yang melek politik, sedangkan masyarakat umum masih tertinggal.
Elite, baik pemerintahan, politik, maupun pengusaha, memanfaatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pilkada dan memenangi kontestasi dengan membeli dukungan.
Namun, ketika elite partai politik merasa diuntungkan dengan sistem ini, pembiaran terjadi. Lingkaran sirkulasi elite yang semestinya diperluas malah dibiarkan stagnan. Kaderisasi parpol justru mati.
Pendidikan politik masyarakat yang menjadi salah satu fungsi parpol tak jalan. Politik uang terus berlangsung.
Bak penumpang gelap, dinasti politik di daerah-daerah menjamur. Apalagi, dengan desentralisasi, kewenangan berpusat di daerah.
Kekuasaan pun diestafetkan kepada istri, anak, adik, dan kerabat lain. Kontestasi dimonopoli segelintir orang yang sudah memiliki kekuatan ekonomi dan kapital.
Akibatnya, indeks demokrasi Indonesia bisa dikatakan stagnan. Kendati ada kenaikan sedikit pada 2014 menjadi 73,04 dari sebelumnya tahun 2013 hanya 63,68, tahun 2015 tak ada perubahan berarti dengan indeks 72,82 dalam skala 0-100.
Akar persoalan, ujar Syarif, memang di parpol. Tak ada kaderisasi. Oligarki menguat di berbagai lini. Petugas parpol pun kini menduduki jabatan tak hanya di eksekutif dan legislatif, tetapi juga yudikatif, baik pusat maupun daerah.
Negara semestinya punya otoritas untuk menerbitkan aturan yang "memaksa" parpol menjalankan fungsi-fungsinya, seperti komunikasi politik, sosialisasi politik, kaderisasi politik, dan pemecah konflik.
Tak hanya itu, lanjut Syarif, kelas menengah sebagai bagian dari masyarakat sipil, baik dari kalangan organisasi kemasyarakatan maupun cendekiawan, semestinya menjadi agen pembaru yang mengontrol parpol, mengawasi penyelenggaraan pemerintahan.
Bukan malah partisan atau hanya diam di menara gading. Harapan tentu ada, tetapi apakah parpol dan kelas menengah mau berubah? (NINA SUSILO)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.