JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah diminta untuk menepati janji terkait komitmen untuk mengembangkan industri pertahanan dalam negeri.
Hal itu disampaikan anggota Komisi I DPR, Sukamta, menanggapi pembelian helikopter AugustaWestland 101 (AW101) dari pihak luar. Padahal, sebelumnya rencana pembelian tersebut pernah mendapat penolakan dari Presiden Joko Widodo.
"Kami di Komisi I inginnya komitmen yang pernah dibuat untuk mengembangkan industri pertahanan dalam negeri ini dipegang oleh pemerintah," tutur Sukamta melalui pesan singkat, Selasa (27/12/2016).
"Kita kan punya rencana-rencana pengembangan alutsista. Sekarang (beli) heli, besok kapal selam, besoknya apa lagi?" kata dia.
Sukamta mengingatkan, berdasarkan amanat peraturan perundang-undangan, setiap pembelian alutsista harus diiringi dengan kerja sama dan peningkatan kapasitas industri pertahanan dalam negeri.
Ketentuan itu, kata Sukamta, seharusnya juga dimasukkan oleh TNI Angkatan Udara dalam perjanjian jual-beli.
"Kalau bukan TNI sendiri yang menghidupkan industri alutsista dalam negeri, lalu siapa lagi?" kata politisi PKS itu.
Kualitas produk-produk alutsista dalam negeri sendiri terbilang sudah cukup baik. Sukamta mengatakan, yang dibutuhkan hanya good will atau niat baik pemerintah untuk mendorong industri pertahanan dalam negeri tersebut.
"Kalau tidak ada good will, saya khawatir kita akan menjadi negara konsumen senjata dan alat perang selamanya. Kalau itu terjadi, ketahanan nasional kita pasti terancam," tuturnya.
Ia menambahkan, kejadian ini merupakan kelemahan dari sistem pembahasan anggaran DPR bersama pemerintah, di mana DPR tidak diperbolehkan ikut dalam membahas satuan tiga.
"Jadi mau beli-beli barang penting seperti ini, tidak dibahas lagi di komisi. Sepenuhnya tanggung jawab eksekutif," ujar legislator asal Daerah Istimewa Yogyakarta itu.
TNI AU sebelumnya diberitakan tetap membeli helikopter AgustaWestland 101 (AW 101), meski pernah mendapat penolakan Presiden Joko Widodo pada Desember 2015 silam.
Menurut Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatna, pembelian helikopter tetap dilakukan karena sesuai kebutuhan, dan bukan untuk VVIP yang sebelumnya telah ditolak Presiden.
"Yang ditolak itu untuk VVIP. Ini untuk pasukan dan SAR tempur, sesuai kajian TNI AU," kata Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal Agus Supriatna, Senin (26/12), di Jakarta, dikutip dari Kompas, Selasa (27/12/2016).
(Baca: TNI AU Tetap Beli Heli AgustaWestland 101)
Presiden Jokowi sebelumnya menolak pembelian heli angkut VVIP AW 101 buatan Inggris dan Italia seharga 55 juta dollar Amerika Serikat atau setara Rp 761,2 miliar per unit itu karena dinilai terlalu mahal dan tak sesuai kondisi keuangan negara.
(Baca: Jokowi Batalkan Rencana Pembelian Helikopter VVIP)
TNI AU kemudian mengajukan pembelian satu heli AW 101 melalui surat kepada Kementerian Pertahanan pada 29 Juli 2016 untuk kebutuhan angkut militer.
(Baca: Sempat Ditolak Jokowi, TNI AU Kembali Berencana Beli Heli AW101)
Namun, rencana pembelian itu mendapat penolakan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) dengan alasan melanggar Undang-Undang Industri Pertahanan.
Menurut Ketua Bidang Perencanaan Tim KKIP Muhammad Said Didu, proses pembelian heli AW 101 melanggar Pasal 43 yang menyebutkan bahwa pengguna, dalam hal ini TNI AU, wajib menggunakan produksi industri pertahanan dalam negeri apabila suatu alat pertahanan-keamanan telah diproduksi di Indonesia.