JAKARTA, KOMPAS — Pidana alternatif selain pidana penjara perlu terus didorong dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang kini sedang dibahas DPR. Hal itu merupakan bagian dari upaya menggeser paradigma hukuman yang bersifat balas dendam menjadi korektif atau rehabilitatif.
Penerapan pidana alternatif sebaiknya diatur rinci dan dikenakan pada tindak pidana ringan yang dulu diancam dengan penjara di bawah 6 bulan.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (25/12), mengatakan, alternatif pidana selain penjara, seperti kerja sosial, merupakan terobosan dalam RUU KUHP. Bentuk pidana alternatif perlu terus didorong dengan memperhatikan berat ringannya perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga.
"Kerja sosial hal yang baru di Indonesia karena sebelumnya kita tidak mengenal alternatif pemidanaan semacam itu. Idealnya pidana kerja sosial dilakukan di tengah masyarakat yang memiliki rasa malu tinggi karena sasarannya untuk menimbulkan efek jera," ujar Akhiar.
Namun, pidana alternatif jelas tidak cocok dalam kasus pembunuhan. Jika dipaksakan, hal itu dikhawatirkan malah memicu tindakan main hakim sendiri.
Hasil kajian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang dirilis Rabu lalu menunjukkan, ada 1.154 perbuatan pidana yang diancam dengan pidana penjara, 882 perbuatan pidana yang diancam dengan pidana denda, dan hanya 59 tindak pidana dengan ancaman pidana alternatif berupa kerja sosial dan rehabilitasi.
Belum memilah
Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, penyusunan KUHP belum memilah tindak pidana ringan, sedang, dan berat karena hampir semua berujung pemenjaraan. "Paradigma hukuman untuk membalas dendam sebaiknya mulai digeser ke hukuman alternatif," kata Supriyadi.
Kepala Bagian Humas dan Protokoler Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Akbar Hadi Prabowo mengatakan, usulan pengurangan porsi hukuman penjara mengemuka sebagai salah satu solusi mengurangi kepadatan lembaga pemasyarakatan. Dari 180.000 narapidana dan tahanan di seluruh Indonesia, 60 persen merupakan narapidana narkotika, yang sebenarnya jauh lebih membutuhkan perawatan dan rehabilitasi.
"Pemberatan denda atau pemiskinan bagi koruptor juga akan membuat jera pelaku daripada mereka dipenjara lama-lama, tetapi ketika keluar masih kaya raya," ujar Akbar. (REK)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Desember 2016, di halaman 5 dengan judul "Pidana Alternatif Perlu Didorong"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.