JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengingatkan bahwa setiap usaha untuk melakukan hal-hal yang tak sesuai dengan konstitusi mengandung risiko yang sangat besar.
Ia menanggapi isu makar yang belakangan muncul seiring adanya aksi demonstrasi pada 4 November 2016 dan rencana aksi susulan pada 2 Desember 2016.
Prabowo menilai, upaya penggulingan pemerintahan akan menciptakan iklim dan budaya politik yang buruk.
(baca: Meski Mengaku Sering Dikhianati, Prabowo Subianto Tak Mau "Baper")
"Merebut kekuasaan bisa saja, tapi sesudah itu bagaimana? Mau memimpin dan memerintah tanpa legitimasi?" kata Prabowo dalam program Rosi di Kompas TV, Senin (28/11/2016).
"Kalau sudah kebiasaan menurunkan pemerintah di tengah jalan, ujungnya tidak ada budaya politik yang baik," sambungnya.
Ia menambahkan, kudeta seringkali menimbulkan kudeta-kudeta lainnya. Jika negara sudah memiliki budaya kudeta, kata Prabowo, maka risikonya besar.
(baca: Prabowo: Banyak Kepentingan Asing yang Ingin Indonesia Rusuh)
Kudeta militer di Indonesia, menurut dia, juga hampir tak pernah berhasil. Seorang pemimpin tetap harus memiliki legitimasi dan dipilih oleh rakyat.
"Yang jadi masalah, kadang elite politik terlalu seenaknya. Jadi asyik dengan intrik-intrik sendiri. Tapi sekarang rakyat tidak bodoh, internet di mana-mana. Jadi jangan anggap rakyat kecil bodoh," tutur mantan Panglima Kostrad itu.
(baca: Prabowo Buka Suara soal Kemungkinan Maju di Pilpres 2019)
Prabowo menegaskan, dirinya sebagai pembina partai selalu berusaha berjalan sesuai parameter konsitusi dan tidak egois melihat kepentingan pribadi dalam berpolitik.
Kekalahan pada Pilpres 2014 juga disinggungnya. Meski kecewa dan sedih, tetapi ia menerima hasil tersebut dan kini mendukung pemerintah terpilih.
"Bagaimana pun kita harus selalu memandang semua pihak di politik sebagai keluarga, sahabat. Ini yang berat. Di Indonesia ini kadang orang suka mendedam," ujarnya.
Kepala Polri Jenderal Pol Tito Karnavian sebelumnya menyebut aksi lanjutan pascaunjuk rasa 4 Novemver 2016, berpotensi berujung pada upaya penggulingan pemerintahan.
(baca: Kapolri Sebut Ada Upaya Makar pada Aksi 25 November)
Tito mengaku mendapat informasi bahwa ada "penyusup" di balik aksi demo tersebut dan akan menduduki gedung parlemen Senayan, Jakarta.
"Kalau itu bermaksud untuk menjatuhkan atau menggulingkan pemerintah, termasuk pasal makar," ujar Tito dalam konfersi pers di Jakarta, Senin.
(baca: Kapolri Sebut Ada Rapat untuk "Kuasai" DPR pada Aksi 25 November)
Tito mengatakan, berdasarkan undang-undang, menguasai gedung pemerintahan merupakan salah satu pelanggaran hukum.
Terlebih lagi, Tito mendapat informasi bahwa ada sejumlah rapat terkait upaya menguasai DPR.
"Bila ada upaya-upaya seperti itu, kita akan lakukan upaya pencegahan dengan memperkuat gedung DPR/MPR," kata Tito.
(baca: Kapolri Akan Keluarkan Maklumat Larang Aksi Digelar di Sekitar Bundaran HI)
Rencana aksi unjuk rasa tersebut masih terkait proses hukum terhadap Gubernur nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dituduh menista agama.
Tito menegaskan bahwa proses hukum terhadap Ahok tetap berjalan di Bareskrim Polri. Dengan demikian, tak perlu lagi dilakukan aksi unjuk rasa.
Jika tetap dilakukan, maka patut dicurigai bahwa aksi tersebut tak lagi murni untuk penegakan hukum.
"Kita udah dapat info, ini bukan masalah proses hukum lagi. Tapi ada upaya agenda politik lain, di antaranya upaya makar," kata Tito.