JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah mengatakan, setiap orang memiliki hak yang sama sebagai warga negara.
Hal itu juga berlaku bagi kaum minoritas, lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT), dan kelompok sexual orientation gender identity and expression (Sogie).
Demikian disampaikan Roichatul dalam seminar "Refleksi Penikmatan HAM Kelompok Minoritas Orientasi Seksual dan Idetitas Gender Pasca 10 Tahun Yogyakarta Principle", di Komnas HAM, Jakarta, Rabu (23/11/2016).
"Siapapun manusianya, hak-hak dasar tidak boleh dikurangi," ujar Roichatul.
Komnas HAM meminta semua pihak bisa menerima kelompok minoritas, LGBT, dan Sogie.
Setelah 10 tahun penandatanganan Yogyakarta Principle, ia berharap masyarakat tidak lagi mendiskriminasi kelompok-kelompok itu baik melalui sikap maupun stigmatisasi.
"Komnas HAM meminta kita semua untuk konsisten pada konstitusi dan Pancasila bahwa manusia harus dimuliakan di bumi Indonesia, terlepas dari apapun adanya manusia itu," kata dia.
Sementara itu, Aktivis GAYa Nusantara Surabaya, Dede Oetomo mengatakan, hingga saat ini pemenuhan hak-hak kaum minoritas, LGBT dan Sogie masih minim.
Menurut dia, masih kerap terjadi tindakan diskriminastif terhadap kelompok-kelompok tersebut.
Hal ini karena sejumlah aturan, khususnya Peraturan Daerah (Perda) masih belum sepenuhnya mengakomodir kelompok minoritas, LGBT, dan Sogie.
"Jadi, banyak perda atau kebijakan yang tidak berperspektif HAM. Misalnya yang pernah saya datangi di Yogyakarta itu Perda mengenai Gepeng (gelandangan dan pengemis ), di sana disebutkan camp assesment," kata Dede.
Ia mengatakan, camp assesment merupakan tempat bagi mereka yang dianggap"bermasalah".
Di camp tersebut, mereka diproses untuk selanjutnya ditentukan akan dikembalikan kepada keluarga atau dipindahkan ke panti rehabilitasi.
Menurut Dede, perda seperti itu sangat rentan terhadap pelanggaran HAM seperti mengalami tindak kekerasan.
Selain itu, kriteria orang yang dapat ditangkap juga tidak jelas.
"Nah teman-teman yang waria dan transgender itu banyak juga mengalami," kata dia.
Dede mengatakan, forum-forum yang dapat membuka wacana dan pemikiran harus terus didorong.
Dengan demikian, masyarakat akan sampai pada pemahaman yang sama mengenai kesetaraan hak asasi manusia.
Yogyakarta Principles merupakan kesepakatan tertulis mengenai prinsip untuk menjaga hak-hak mendasar terkait komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transjender (LGBT).
Yogyakarta Principles ditandatangani oleh 29 pakar HAM internasional dari 25 negara.
Saat itu, mantan hakim adhoc dalam pengadilan HAM almarhum Rudi Muhammad Rizki mewakili Indonesia menandatangani kesepakatan tersebut.
Yogyakarta Principles sifatnya terbilang lunak (soft law), bukan aturan yang ketat dan mengikat (hard law).
Sehingga, sifatnya tidak memaksa dan tidak memerlukan ratifikasi, karena tidak seperti konvensi atau perjanjian.
Namun, prinsip ini bisa menjadi rujukan bagi negara-negara anggota PBB terkait orientasi seksual.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.