JAKARTA, KOMPAS.com - Keluarga korban Tragedi Semanggi I bersama Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta mendesak Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada Tragedi Semanggi I yang hingga kini belum tuntas.
Hal tersebut disampaikan keluarga korban saat peringatan 18 tahun Tragedi Semanggi I di kampus Unika Atma Jaya Jakarta, Senin (14/11/2016).
Maria Katarina Sumarsih, ibu dari BR Norma Irmawan, mahasiswa Atma Jaya yang meninggal lantaran ditembak saat demonstrasi mahasiswa 13 November 1998, mengungkapkan, selama 18 tahun dia selalu memperjuangkan keadilan terhadap kasus kematian anaknya.
Namun, selama 18 tahun itu pula, pemerintah seakan tidak memiliki kemauan untuk menuntaskan kasus Semanggi I dan kasus pelanggaran HAM berat lainnya.
"Selama 18 tahun, keluarga korban selalu memperjuangkan agar kasus ini dituntaskan oleh Pemerintah. Namun selama ini tidak ada perkembangan apapun," ujar Sumarsih.
Selain Sumarsih, hadir pula Asih widodo, ayahanda Sigit Prasetyo mahasiswa YAI yang juga tewas saat demonstrasi.
Anak semata wayang Widodo itu tewas tertembak timah panas yang diduga dilepaskan aparat yang mengamankan aksi.
Widodo mengaku hanya ingin pemerintah memberikan kepastian hukum dengan menyeret pelaku intelektual penembakan ke pengadilan.
Dia menyebut Presiden ketiga RI B. J. Habibie dan Wiranto yang saat itu menjadi Panglima ABRI bertanggung jawab atas kematian anaknya.
(Baca: Menanti Komitmen JKW-JK Menuntaskan Kasus Tragedi Semanggi)
"Anak semata wayang saya ditembak tentara. Saya hanya menuntut keadilan, sudah cukup bagi saya. Habibie dan Wiranto harus dihukum," ungkap Widodo.
Pada kesempatan yang sama ketua Senat Fakultas Hukum Unika Atma jaya, Widya Putra, menuntut Presiden Joko Widodo memenuhi janji yang dilontarkan saat kampanye.
Widya mengatakan, Presiden Jokowi menjanjikan akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur hukum.
Tidak sedikit masyarakat yang terberdaya rasa simpatiknya untuk menaruh harapan pada Presiden Jokowi.
"Saat ini kami menilai Presiden sudah bertolakbelakang dengan janji sewaktu masa kampanye kemarin. Nawacitanya nomor 9 butir keempat jelas menyatakan tentang penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu," ujar Widya.
Tragedi Semanggi I terjadi pada 13 November 1998. Saat itu mahasiswa, yang bergabung dengan masyarakat, melakukan demonstrasi besar-besaran.
Mereka menolak Sidang Istimewa 1998 yang dikhawatirkan melegitimasi kekuasaan Rezim Orde Baru melalui pengangkatan Habibie sebagai presiden, dan menuntut penghapusan dwi-fungsi ABRI sebagai salah satu bentuk campur tangan politik dari kalangan militer.
Ketika massa aksi tiba di daerah Semanggi, tepatnya di depan Kampus Atma Jaya, barikade aparat telah mengepung dari dua arah, mencoba membatasi ruang gerak demonstran.
Sekitar pukul 16.30 aparat yang berjaga berupaya membubarkan aksi demonstrasi secara paksa, namun mahasiswa bertahan.
Akhirnya terdengar letusan senjata api. Aparat secara membabi buta menembaki barisan mahasiswa yang tidak kunjung membubarkan diri.
Akibatnya, jatuh korban jiwa dan luka berat yang berasal dari mahasiswa dan masyarakat sipil.
Sedikitnya lima mahasiswa tewas, mereka adalah BR Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya; Engkus Kusnadi, mahasiswa UNJ (Universitas Negeri Jakarta); Heru Sudibyo, mahasiswa Universitas Terbuka; Sigit Prasetyo, mahasiswa Universitas YAI (Yayasan Administrasi Indonesia); dan Teddy Wardani Kusuma, mahasiswa ITI (Institut Teknologi Indonesia).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.