JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi mendatangkan Widyaiswara Badan Diklat Kejaksaan dan KPK, Adnan Pasyladja, sebagai ahli dalam sidang praperadilan yang diajukan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.
Dalam keterangannya, Adnan mengatakan keterangan dari calon tersangka bukan salah satu hal wajib yang menunjang proses penyelidikan.
Menurut dia, keterangan calon tersangka hanya salah satu dari alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
"Dua bukti ini bisa didapatkan tanpa berita acara pemeriksaan calon tersangka. Bisa dengan alat bukti lain. Dengan begitu penyelidik bisa temukan siapa tersangkanya," ujar Adnan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (7/10/2016).
Jika ada minimal dua alat bukti permulaan yang cukup, menurut Adnan, KPK sudah bisa meningkatkan penyelidikan ke tingkat penyidikan tanpa perlu disertai keterangan dari calon tersangka.
Dalam kasus Nur Alam, penyelidik telah empat kali mengundangnya untuk dimintai keterangan.
Namun, Nur Alam selalu berhalangan dengan alasan harus menghadiri acara kedinasan yang tak bisa ditinggalkan.
"Kenapa kita harus memaksakan diri untuk periksa yang bersangkutan sepanjang bukti permulaan udah diperoleh," kata Adnan.
KPK, kata dia, tidak bisa memaksa terperiksa untuk hadir.
Upaya paksa hanya bisa dilakukan di tingkat penyidikan dengan memanggil saksi atau tersangka.
Dalam penyelidikan, panggilan hanya bersifat undangan yang tidak ada paksaan harus dihadiri.
"Jadi apakah bisa tetap ditingkatkan ke penyidikan? Ya bisa," kata Adnan.
KPK sebelumnya mengaku telah mengantungi minimal dua alat bukti di tingkat penyelidikan.
Penyelidik telah memintai keterangan 57 terperiksa dari pihak Pemerintah Provinsi Sulawsi Utara, Pemerintah Kabupaten Buton dan Bombana, dan sejumlah pihak swasta.
KPK pun memegang sejumlah dokumen yang mengarah ke dugaan tindak pidana oleh Nur Alam.
Bahkan, ada juga penghitungan ahli dari Institut Pertanian Bogor soal kerugian lingkungan akibat izin usaha pertambangan senilai lebih dari Rp 3 triliun.
Dalam kasus ini, Nur Alam diduga menyalahgunakan wewenang karena menerbitkan SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan dan Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi untuk PT Anugrah Harisma Barakah selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.
Selain itu, ia juga menerbitkan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada perusahaan yang sama.
Nur Alam diduga mendapatkan kick back dari pemberian izin tambang tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.