Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jelang Pilkada, Waspadai Lembaga Survei Merangkap Konsultan Politik

Kompas.com - 06/10/2016, 16:48 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

Bukan hal baru

Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro memaparkan, bukan hal baru jika independensi dan integritas lembaga survei dipertanyakan. Ia mencatat, sejak 2008 lembaga-lembaga survei sudah mulai tak independen dan membela yang membayar.

Padahal, publik serta user, dalam hal ini partai politik, menginginkan agar lembaga survei jelas, transparan dan bisa mempertanggungjawabkan hasilnya. Banyak lembaga survei kurang ikhlas dalam melaksanakan tugasnya. Lembaga survei yang tidak profesional, kata Siti, harus dihukum karena melakukan kebohongan publik.

"Dia sebetulnya tim sukses dan partisan tapi seolah-olah melakukan kerja secara profesional," tuturnya "Dari survei ini, diharapkan jadi double-check bagi lembaga-lembaga," lanjut Siti.

Adapun Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Philip Vermonte berpendapat, masyarakat saat ini sudah kritis dan mampu menilai mana lembaga survei yang dapat dipercaya.

Ia tak menampik ada lembaga-lembaga survei yang berniat menggiring opini publik. Namun, belum tentu masyarakat mudah percaya. Kalau pun ada lembaga survei yang menilai kandidat tertentu hanya berpeluang kecil untuk menang, belum tentu pada hasil akhirnya akan betul-betul kalah.

"Waktu 2004. SBY (Presiden Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono) surveinya kecil. Yang terjadi kebalikannya kan?" ucap Philip.

Ia menambahkan, hal tersebut terjadi karena SBY mempercayai nilai metodologis dan mengubah strategi kampanyenya menjadi lebih baik dan rapi. Philip menegaskan, tingkat kepentingan survei bergantung bagaimana respon kandidat.

Menurutnya, yang menjadi permasalahan adalah banyak lembaga survei yang tak kredibel tetapi tetap dimuat di media massa. Philip pun menawarkan solusi. Ke depannya setiap lembaga survei harus menyertakan data mentah.

"Kalau itu ada, semua ahli statistik akan tahu ini ketahuan apa enggak. Tidak cukup hanya press release dan power point. Supaya ketahuan apa benar margin of error-nya segitu? Sampelnya bagaimana," tutur Philip.

Hal tersebut menjadi sulit karena banyak lembaga survei yang dbayar oleh klien sehingga mereka dilarang merilis data mentah.

"Kalau ini dilakukan, bisa transparan, kita enggak perlu lagi ribut-ribut apakah survei A benar atau tidak," tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com