JAKARTA, KOMPAS.com - Ketika itu tahun 2000. Yusril Ihza Mahendra, Menteri Kehakiman, menelepon Artidjo Alkostar, seorang pengacara.
Dia menawarkan posisi hakim agung kepada Artidjo. Artidjo lantas gamang.
Di era itu, menteri kehakiman memiliki wewenang menyodorkan nama calon hakim agung untuk disetujui DPR.
Dalam acara Satu Meja di Kompas TV, Artidjo mengaku sempat menolak tawaran itu.
"Awalnya saya wegah (tidak mau), saya bilang sama Mas Yusril, lembaga peradilan itu pekat, sulit dibenahi," kata Artidjo kepada host Satu Meja, Budiman Tanuredjo, Senin (12/0/2016).
(Baca: Pejabat MA Minta Suap kepada Pengacara untuk Hindari Hakim Artidjo)
"Tapi Mas Yusril bilang, jangan hanya mengeluh, tapi harus mau benahi," kata Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung itu.
Sindiran Yusril itu membuat Artidjo Galau. Bingung.
Lalu, pria kelahiran Situbondo yang beribukan perempuan Sumenep itu berkonsultasi dengan sejumlah ulama dan kyai di Madura.
Setelah mendapat pesan dari salah seorang kyai itu dia akhirnya bersedia menerima tawaran Yusril.
"Kata kyainya jadi hakim itu berat, tapi harus konsisten," ujar Artidjo.
Jadi hakim agung baru, Artidjo langsung menangani kasus-kasus yang relatif menjadi sorotan publik.
Misalnya kasus korupsi yang menyeret mantan Presiden Soeharto. Artidjo mengaku tak mengerti mengapa dia yang masih bau kencur yang harus menangani kasus-kasus berat itu. "Entahlah saya juga bingung," kata Artidjo.
Di kasus Soeharto, Artidjo berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan dua hakim lainnya yang berkeputusan perkara harus dihentikan.
Begitu juga di kasus Bank Bali, saat dua hakim lain ingin kasus Djoko Tjandra, terdakwa kasus itu bebas, Artidjo bersikukuh Djoko harus dihukum.