KOMPAS.com - Di usia 89 tahun, Sayidiman Suryohadiprijo, purnawirawan Letnan Jenderal TNI AD, masih aktif menulis. Bahkan, menurut penuturan anaknya, kerapkali di tengah malam, ayahnya bangun dan langsung menuju ruang kerja untuk menulis. Begitulah semangat dalam diri sang jenderal itu.
Saat berbincang dengannya, cobalah tanya kisah-kisah perjuangannya, maka cerita heroik segera meluncur dengan penuh semangat. Bahkan, beliau masih ingat nama-nama rekan seperjuangannya. Perlu diketahui, Sayidiman adalah salah satu Angkatan '45 yang masih hidup hingga sekarang.
Sayidiman, lulusan Akademi Militer Yogyakarta tahun 1948, ikut dalam perang kemerdekaan. Beliau juga terlibat dalam berbagai operasi keamanan dalam negeri, seperti Darul Islam, PRRI/Permesta, dan G30S.
Kariernya dimulai sebagai Komandan Peleton di Divisi Siliwangi dan menjadi Komandan Kompi dan Komandan Batalyon. Kemudian menjadi Komandan Resimen Taruna di Akademi Militer Nasional.
Pada 1968, Sayidiman diangkat sebagai Panglima Kodam XIV/Hasanuddin di Sulawesi Selatan, dilanjutkan sebagai Ketua Gabungan di Departemen Pertahanan dan Keamanan dalam bidang personel pada 1970. Selanjutnya, pada 1973 dia menjabat Deputi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Setahun berikutnya, Sayidiman menjadi Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), sebelum akhirnya diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Jepang pada 1979. Sejak 2012 sampai sekarang, dia menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Pusat Legiun Veteran RI.
Sayidiman telah mengikuti berbagai pendidikan militer, baik di dalam maupun di luar negeri, antara lain Kursus Perwira Lanjutan Infanteri di Bandung dan Sekolah Staf dan Komando di Hamburg, Jerman Barat. Pengalamannya dalam pendidikan dimulai setelah kembali dari Amerika Serikat pada 1952 dan turut membentuk Kursus Perwira Lanjutan Pertama Infanteri di Bandung.
Setelah itu, Sayidiman diikutsertakan dalam pendidikan di Akademi Militer Nasional/Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, serta Sekolah Staf dan Komando Gabungan dan Lemhannas.
Buku Budaya Gotong Royong dan Masa Depan Bangsa merupakan buku ke-13 Sayidiman. Sebelumny, buah kreatifitas pikirannya yang sudah diterbitkan adalah buku Mengobarkan Api Pancasila pada 2014.
Buku Budaya Gotong Royong mengajak pembaca agar mengingat dan menghidupkan kembali budaya asli bangsa Indonesia, yaitu gotong royong. Sebab, selama ini budaya tersebut seperti ditelan bumi akibat pengaruh budaya dari luar yang menimbulkan sikap individualisme dan liberalisme.
Akibatnya, timbul sikap mementingkan diri sendiri, egoisme, pudarnya rasa tolong-menolong, kurang peduli, bahkan bersikap acuh tak acuh. Padahal, kodrat manusia adalah makhluk sosial, yang tak dapat hidup sendiri.
Satu sama lain manusia selalu berinteraksi karena saling membutuhkan sehingga diperlukan harmoni atau keselarasan antar-individu, bukan dominasi individu. Harmoni dalam kondisi perbedaan dalam kesatuan, kesatuan dalam perbedaan.
Di buku Sayidiman juga sangat menekankan Pancasila. Menurut beliau, Pancasila merupakan sumber pemersatu negeri. Sebab, nilai-nilai yang terkandung pada sila-sila Pancasila di dalamnya bukan hanya berlaku pada masa lalu, melainkan sekarang dan masa depan.
Pancasila merupakan jaminan bangsa, karena Pancasila digali dari akar-akar kehidupan masyarakat bangsa Indonesia oleh Bung Karno. Begitulah kata Sayidiman.
Bung Karno mengatakan, jika diperas, Pancasila menjadi Trisila, dan kalau diperas lagi menjadi Ekasila yang tidak lain adalah gotong royong. Oleh karena itu, menjadikan Pancasila sebuah kenyataan dengan cara mengembangkan budaya gotong-royong.
Inti nilai-nilai Pancasila juga adalah inti nilai-nilai budaya gotong royong yang berdasarkan kebersamaan, bukan individualisme, apalagi liberalisme. Semua ini membuktikan bahwa budaya gotong-royong merupakan jaminan masa depan Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Namun, menghidupkan kembali budaya tersebut saat ini menjadi tantangan yang tidak mudah. Masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki beberapa sifat yang kurang mendukung, yaitu "kemanjaan mental", seperti lekas puas, kurangnya dorongan untuk menghasilkan yang terbaik, dan senang berwacana tanpa hasil konsisten.
Jadi, alasannya bukan karena bangsa kita tidak mampu, melainkan kurangnya kemauan dan kehendak untuk berbuat sesuatu. Ditambah lagi, bumi Indonesia yang begitu kaya: subur tanahnya dan luas lautannya. Akhirnya, semua ini menjadi tantangan agar budaya gotong royong kembali terwujud, menjadi penyemangat bangsa dan menjadikan Pancasila sebuah kenyataan di Indonesia.
(IRWAN SUHANDA/PENERBIT BUKU KOMPAS)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.