Andreas Schleicher mengatakan, pendidikan adalah investasi paling bernilai bagi setiap negara. Hanya pendidikan yang mampu menyelamatkan negara. Universitas adalah ujung tombak setiap negara menghadapi dunia yang penuh kompetisi ini.
Ibarat mata air, universitas adalah sumber pengetahuan yang tidak boleh kering. Di sanalah pekerja otak berlindung untuk terus menimba ilmu pada saat ilmu dan teknologi berubah tanpa jeda. Pada era ini jelas, upaya peningkatan ranking universitas di level dunia adalah titik perjuangan terpenting tiap negara.
Salah satu kriteria QS World dalam menentukan ranking universitas di level dunia adalah jumlah riset di publikasi internasional. Sampai di sini, prestasi riset universitas di negeri ini memang mencemaskan. Indonesia, negara yang begitu besar, hanya ranking ke-61 survei SCImago lab (www.scimagojr.com). Kalah jauh dari Singapura ranking ke-32, Malaysia ke-37 dan Thailand ke-43.
Dalam perang pengetahuan ini, harus jelas siapa pasukan elite terdepan di negeri ini. Nah, di sini tingkatan gelar mulai menunjukkan perbedaan peran dan tanggung jawab. Doktor saat pengukuhan disebut seorang yang amat terpelajar. Dia menyerahkan hidupnya demi keilmuan dan kebenaran. Dia terdepan menjaga kemuliaan bangsanya. Sepenuh waktu berada di laboratorium, meneliti, menemukan hal-hal baru agar bangsanya terbebas dari ketertinggalan.
Kehormatannya diukur dari kualitas dan kuantitas produk keilmuannya. Artinya, seorang yang bergelar doktor bukan lagi knowledge consumer, melainkan knowledge producer. Merekalah pasukan elite terdepan bangsa dalam perang pengetahuan.
Akademisi paripurna
Profesor? Dia adalah akademisi paripurna yang kredibilitasnya telah teruji. Dengan gelar guru besar, dia mendapat legitimasi untuk memimpin negerinya menghadapi knowledge war. Dialah yang memilihkan ilmu yang terbaik dan terkini untuk didistribusikan kepada anak didiknya agar mampu menghadapi perubahan dan tantangan zaman.
Alvin Toffler menyebut, seorang akademisi memiliki hak khusus (privilege) dalam menyatakan kebenaran. Sebab, dia adalah golongan orang yang terbebas dari segala kepentingan, kecuali kepentingan keilmuan dan kebenaran. Namun, pesan Alvin Toffler itu juga mengingatkan bahwa ancaman potong gaji bukan cara tepat untuk menghidupkan kembali dunia akademis.
Muir Gray juga mengingatkan performa tidak ditentukan oleh faktor tunggal (baca: gaji dan tunjangan) karena banyak faktor lain ikut menentukan. Misalnya, apakah universitas di negeri ini telah memiliki suasana kondusif untuk para peneliti? Tidak akan ada penelitian bermutu lahir dari ancaman dan paksaan.
Semua yang terbaik adalah hasil dari seseorang yang memang berkehendak. Tampaknya teoriself-esteem perlu dikaji kembali, tetapi jelas tata cara seleksi profesor perlu dinilai ulang.
Universitas ialah bagian paling strategis pada era perang pengetahuan. Matinya dunia akademi adalah pertanda punahnya satu bangsa. Jika Anda bertanya kepada rakyat di negeri jiran: ”Apakah pemerintah Anda telah berbuat yang terbaik untuk perkembangan universitas?”. Jawaban mereka akan jelas dan bangga. Namun, jika Anda mengajukan pertanyaan serupa di negeri ini, siapa yang harus menjawab?
Versi cetak artikel ini terbit di harian "Kompas" edisi 1 September 2016, di halaman 6 dengan judul "Profesor, Pemerintah dan Perang Pengetahuan"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.