Jaga keharmonisan masyarakat
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Sayangnya, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Rabu (3/8/2016) mengumumkan, indeks demokrasi Indonesia (IDI) 2015 di level nasional adalah 72,82 dalam skala 0-100. Angka ini turun dibandingkan dengan 2014, yaitu di angka 73,04.
Mengapa? Ternyata, ada penurunan nilai di sejumlah variabel, seperti kebebasan berkeyakinan serta peran DPRD dan parpol yang pada 2015 lebih buruk dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Setelah damai selama puluhan tahun, pada Jumat (29/7/2016), misalnya, terjadi kerusuhan yang disertai pembakaran rumah ibadah di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara. Keharmonisan hidup masyarakat tercederai
Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai, di Jakarta (Kompas, 12/8/2016) mengatakan, dalam kasus di Tanjung Balai ditemukan fakta distorsi informasi antaretnis yang menyebabkan kesalahpahaman.
Natalius mengatakan, pemerintah pusat, provinsi, dan Tanjung Balai harus menghentikan komunikasi yang berorientasi pada kebencian dan intoleransi.
"Pemerintah pusat dan daerah, termasuk kepolisian, harus memastikan jaminan rasa aman, nyaman, serta memastikan tidak terulangnya peristiwa serupa di masa mendatang," ujarnya.
Tanjang Balai, kalau boleh jujur, juga telah terbangun dari hasil jerih payah rakyat setempat. Pembakaran tempat ibadah tidak sekadar merusak bangunan, tetapi juga merusak rasa saling percaya di antara warga sehingga bukan mustahil bakal terjadi perlambatan pembangunan.
Yang dirugikan dari peristiwa itu bukan sekadar toleransi warga yang berada di titik nadir, melainkan juga ada potensi perlambatan ekonomi.
Untung saja, pembakaran tempat ibadah tidak merembet pada terbakarnya pusat-pusat perdagangan. Bagaimana bila hal itu terjadi? Rakyat Tanjung Balai tanpa terkecuali pasti dirugikan.
Kerusuhan sosial di Tanjung Balai diperburuk isu negatif dan provokatif melalui media sosial sehingga menyulut emosi warga untuk membakar rumah ibadah. Ujaran kebencian menjadi persoalan serius seiring kemajuan teknologi digital.
Sejak 2015, Kepolisian Negara RI telah membekali diri dengan Surat Edaran Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian.
Namun, sejauh mana kepekaan anggota kepolisian untuk mengantisipasi kemungkinan konflik sosial dengan mendamaikan pihak-pihak yang berselisih.
Selain kepolisian, warga masyarakat juga punya tugas untuk membangun Indonesia damai dan berperadaban. Masyarakat juga punya tugas untuk merawat toleransi.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan bersama Forum Pembauran Kebangsaan, misalnya, pada akhir Juli 2016 mengadakan acara Gelar Budaya untuk meningkatkan wawasan kebangsaan sekaligus mempererat kerukunan antaretnis yang ada di Kalimantan Selatan. Nahdlatul Ulama (NU) di sisi lain juga rajin menggaungkan konsep "Islam Nusantara".
Toleransi, kata Mudji Sutrisno, pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, sebenarnya telah menjadi bahan kurikulum pendidikan, tetapi jangan sampai hanya berhenti pada kurikulum pendidikan (Kompas, 5/8/2016).
Terlebih lagi, kata Mudji, agama telah diambil sebagai media atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang praktis.
"Jadi, khotbah di lembaga-lembaga keagamaan justru menjadi media penting untuk mengajarkan toleransi," ujarnya.
Toleransi harus dikedepankan sehingga Indonesia tidak menjadi negara gagal. (HARYO DAMARDONO)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.