Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Wacana Dwi-kewarganegaraan, Menguntungkan atau Merugikan Indonesia?

Kompas.com - 23/08/2016, 05:15 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana soal dwi-kewarganegaraan kembali mencuat dalam dua pekan terakhir setelah munculnya dua kasus yang hampir sama.

Arcandra Tahar, yang dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dicopot setelah 20 hari menjabat.

Status kewarganegaraannya dipersoalkan. Arcandra diketahui memiliki paspor Amerika Serikat.

Kasus lainnya, anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), Gloria Natapradja Hamel sempat tak diikutkan dalam pasukan saat upacara pengibaran bendera dalam rangka HUT ke-71 RI di Istana Negara, Jakarta, 17 Agustus lalu.

(Baca: Jangan Hanya karena Kasus Arcandra, Pemerintah Gegabah Terapkan Dwi-kewarganegaraan)

Status kewarganegaraannya juga dipersoalkan karena memiliki paspor Perancis, negara asal ayahnya.

Kedua kasus ini memunculkan wacana perlunya revisi UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Pemerintah diminta mengkaji kemungkinan diperbolehkannya dwi-kewarganegaraan.

Jika dwi-kewarganegaraan diakomodasi, adakah keuntungan atau justru merugikan bagi Indonesia?

Tidak revisi total

Pakar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan, jika akan dilakukan revisi terhadap UU Kewarganegaraan, sebaiknya tidak revisi total.

Ia menyarankan agar dilakukan kajian mendalam serta menyisir pasal-pasal yang memang dianggap bermasalah dan tak sesuai dengan persoalan yang muncul saat ini.

"Revisi jangan revisi total. Lihat aturan, sisir pasal-pasal yang dianggap masalah dan tak sesuai dengan persoalan faktual," kata Hikmahanto dalam perbincangan "Satu Meja" yang ditayangkan Kompas TV, Senin (22/8/2016) malam.

Ia mencontohkan, salah satu yang perlu direvisi adalah Pasal 41 dalam UU Kewarganegaraan.

Pasal itu berbunyi, "Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan".

(Baca: Menurut JK, Ini Untung-Rugi jika Indonesia Terapkan Dwi-kewarganegaraan)

Sesuai ketentuan Pasal 41 itu, ada batasan waktu mendaftarkan diri bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun hingga tahun 2010. Mereka yang tidak mendaftarkan diri tidak punya kesempatan untuk mendaftarkan diri sebagai warga negara Indonesia.

Hikmahanto menegaskan, revisi UU terkait kewarganegaraan ini jangan dilakukan karena hanya mengakomodasi pihak dan kepentingan tertentu.

Ia juga sepakat jika revisi terkait aturan dwi-kewarganegaraan tidak secara utuh, melainkan selektif dan terbatas, misalnya kelonggaran bagi anak-anak yang lahir di negara yang menganut sistem ius soli (kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran).

Inisiatif DPR

Sementara itu, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM Freddy Harris mengatakan, revisi UU Kewarganegaraan merupakan inisiatif DPR.

"Pemerintah saat ini tengah melakukan kajian, karena revisi UU ini merupakan inisiatif DPR," kata Freddy, pada acara yang sama.

Terkait materi revisi, ia menekankan, soal dwi-kewarganegaraan, pemerintah melakukan kajian mendalam dan berhati-hati.

Menurut dia, kasus dwi-kewarganegaraan yang dimiliki WNI yang telah lama di luar negeri karena alasan praktis.

"Dari yang kami temukan, banyak persoalan yang bekerja di luar negeri, menduduki jabatan tinggi, memegang paspor Indonesia. Tetapi, misalnya, mereka dari Amerika mau ke Eropa, mengurus visa dengan paspor Indonesia itu bisa lebih lama, bahkan ada yang sampai sebulan," papar Freddy.

(Baca: Menko Polhukam: Revisi UU Kewarganegaraan Bukan ke Arah Dwi-kewarganegaraan)

"Sementara, paspor negara lain tidak selama itu. Jadi alasannya karena alasan praktis, kalah bersaing dengan negara lain," lanjut dia.

Pemerintah juga tengah mendata persoalan yang dihadapi para diaspora untuk mengurus kewarganegaraan Indonesia-nya. Ke depannya, akan dilakukan terobosan agar pengurusan tidak menyulitkan.

Dwi-kewarganegaraan terbatas

Kepala Divisi Advokasi Perkawinan Campur (Perca) Indonesia, Ike Farida, mengatakan, jika dilakukan revisi terhadap UU Kewarganegaraan, ia berharap ketentuan Pasal 41 dihapuskan.

Ketentuan dan pembatasan 4 tahun untuk mendaftarkan diri, dinilainya telah menghilangkan banyak anak dari perkawinan campur tidak mendapatkan kesempatan menjadi WNI.

Selain itu, syarat-syarat pengurusan sangat sulit untuk dipenuhi.

"Untuk anak-anak yang lahir sebelum 2006, diberi waktu untuk mendaftarkan diri hingga 31 Agustus 2010. Bagi keluarga tinggal di daerah terpencil, di luar negeri, banyak yang tidak melakukannya. Untuk mengurus dwi kewarganegaraan, misalnya dia jadi WN AS karena lahir di Amerika. Maka dokumen harus dilegalisir ke Kedubes AS, ini sangat menyulitkan. Jadi ada persoalan administratif," kata Ike.
 
"Perca punya keinginan, Pasal 41 tidak ada. Dwi-kewarganegaraan untuk anak-anak yang lahir di negara ius soli tidak perlu dibatasi. Karena syarat lepas warga negara itu tidak mudah, dan jangan dipersulit," lanjut dia.

Selain itu, Ike juga berharap dwi-kewarganegaraan diberikan hanya kepada anak-anak yang lahir di negara ius soli tersebut, tidak kepada orang dewasa.

Kompas TV Pengamat: Ada Upaya Menutupi Kasus Archandra- Satu Meja
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Nasional
'Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran'

"Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran"

Nasional
Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

Nasional
Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Nasional
Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com