Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/08/2016, 16:57 WIB

Dalam waktu yang hampir bersamaan, terdapat dua peristiwa tragis yang dialami oleh dua "orang Indonesia". Pertama adalah apa yang dialami oleh Gloria Natapradja Hamel. Dia gagal menjadi bagian dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka alias Paskibraka karena berkewarganegaraan Perancis seperti ayahnya. Kedua, menimpa Arcandra Tahar. Dia diberhentikan sebagai Menteri ESDM karena diketahui berkewarganegaraan Amerika Serikat.

Konteks yang menyelimuti dua orang itu memang berbeda, tetapi memiliki titik singgung. Gloria tumbuh dan berkembang di Indonesia dan sangat mencintai Indonesia, meskipun ayahnya orang Perancis. Namun, karena Gloria belum berusia 18 tahun, dia belum bisa mengajukan permohonan sebagai warga negara Indonesia sebagaimana yang diinginkannya.

Sementara Arcandra sudah dua dekade bermukim di Amerika Serikat. Kemampuan akademik dan teknisnya, berikut kariernya, tumbuh memekar di negara Paman Sam itu. Berkaitan dengan karier pula, barangkali, dia akhirnya mengajukan diri menjadi warga negara Amerika Serikat.

Namun, pada saat yang bersamaan, dia berusaha tetap mempertahankan statusnya sebagai warga negara Indonesia sebagaimana dibuktikan oleh kepemilikan paspor. Dia juga masih mencintai Indonesia.

Jaringan "Indonesia"

Kasus itu mengingatkan kembali pada harapan banyak warga negara Indonesia (WNI) yang bermukim di berbagai belahan dunia. Dalam sejumlah kesempatan berbincang dengan mereka di sejumlah negara, mereka mengusulkan agar Indonesia membuka ruang bagi adanya kewarganegaraan ganda, sebagaimana diterapkan sejumlah negara lain.

WNI itu, yang banyak di antara mereka telah memperoleh status sebagai permanent resident, masih gamang meningkatkan statusnya sebagai warga negara di negara tempat mereka tinggal itu. Di antara alasannya adalah karena mereka masih mencintai Indonesia dan masih bangga memegang paspor berlambang garuda.

Namun, pada saat yang bersamaan, mereka juga menyadari bahwa, bagaimanapun, terdapat perbedaan antara status permanent resident dan status sebagai warga negara. Perbedaannya bukan semata-mata pada hak politik yang dimiliki oleh warga negara, seperti hak memilih dan dipilih, melainkan juga terkait dengan karier.

Untuk posisi-posisi tertentu, hanya orang yang berstatus warga negara yang bisa menempati. Implikasinya, permanent resident tetaplah sebagai warga kelas dua di bawah warga negara.

Usulan kewarganegaraan ganda bagi WNI itu lebih mengemuka setelah diadakan serangkaian pertemuan perantauan Indonesia yang bermukim di sejumlah negara, baik yang telah berstatus warga negara lain, permanent resident, maupun yang tinggal sementara, yang difasilitasi oleh Kementerian Luar Negeri sejak beberapa tahun belakangan.

Perlunya kewarganegaraan ganda itu tidak semata-mata didasari oleh romantisisme kultural, yang terbalut oleh identitas politik "Indonesia". Usulan pentingnya kewarganegaraan ganda juga didorong oleh keinginan untuk menumbuhkembangkan jaringan "Indonesia" di berbagai belahan dunia.

Jaringan itu pada kenyataannya tidak hanya melahirkan keuntungan-keuntungan budaya, misalnya, melainkan juga telah terbukti mampu memperkuat posisi ekonomi sejumlah negara.

Tantangan

Tidak sedikit WNI di luar negeri yang menyayangkan masih tertutupnya kemungkinan adanya kewarganegaraan ganda. UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan secara tegas tidak mengakui kewarganegaraan ganda itu.

Pasal 23, di antaranya, menyatakan bahwa "WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan: memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, dan tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu".

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang 'Toxic'

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang "Toxic"

Nasional
Tanggapi Luhut soal Orang 'Toxic', Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Tanggapi Luhut soal Orang "Toxic", Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Nasional
Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Nasional
Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim 'Red Notice' ke Interpol

Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim "Red Notice" ke Interpol

Nasional
Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Nasional
Anggap 'Presidential Club' Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Anggap "Presidential Club" Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Nasional
Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Nasional
Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Nasional
KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat 'Presidential Club'

Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat "Presidential Club"

Nasional
'Presidential Club' Prabowo Diprediksi Jadi Ajang Dialog dan Nostalgia

"Presidential Club" Prabowo Diprediksi Jadi Ajang Dialog dan Nostalgia

Nasional
Gus Muhdlor Kenakan Rompi Oranye 'Tahanan KPK' Usai Diperiksa 7 Jam, Tangan Diborgol

Gus Muhdlor Kenakan Rompi Oranye "Tahanan KPK" Usai Diperiksa 7 Jam, Tangan Diborgol

Nasional
Adam Deni Hanya Dituntut 1 Tahun Penjara, Jaksa: Sudah Bermaafan dengan Sahroni

Adam Deni Hanya Dituntut 1 Tahun Penjara, Jaksa: Sudah Bermaafan dengan Sahroni

Nasional
Ide 'Presidential Club' Prabowo Diprediksi Bakal Bersifat Informal

Ide "Presidential Club" Prabowo Diprediksi Bakal Bersifat Informal

Nasional
Prabowo Mau Bentuk 'Presidential Club', Ma'ruf Amin: Perlu Upaya Lebih Keras

Prabowo Mau Bentuk "Presidential Club", Ma'ruf Amin: Perlu Upaya Lebih Keras

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com