Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Evan A. Laksmana
Peneliti

Peneliti kebijakan strategis and militer di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta. Kandidat doktor ilmu politik, Maxwell School of Citizenship and Public Affairs, Syracuse University, New York. Berkicau di @EvanLaksmana

Politik Sejarah Militer

Kompas.com - 04/08/2016, 20:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Ketiga, kecuali kita siap mengkaji rentetan peristiwa 1965-66 secara sistematis, jujur, kritis, dan terbuka, perdebatan peristiwa 1965 akan menyita energi politik dan sumber daya pertahanan di saat perubahan lingkungan strategis Indonesia makin cepat.

Padahal, kebijakan pertahanan seharusnya diarahkan untuk menghadapi bangkitnya Tiongkok sebagai kekuatan militer yang disertai eskalasi rivalitas strategis dengan AS, memanasnya sengketa wilayah di Laut Tiongkok Timur dan Selatan, serta memburuknya persoalan perompakan dan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia---bukan mengawasi diskusi dan peredaran atribut "ke-kiri-an".

Ditambah dengan pengalihan sumber daya pertahanan ke program bela negara tanpa perencanaan matang, pengerahan personil militer secara nasional untuk pengawasan ideologi malah dapat memperlambat proses modernisasi alutsista TNI. Logika strategi mendiktekan bahwa sumber daya pertahanan selalu terbatas.

Lebih jauh, di saat pasar industri teknologi militer dunia tengah bergeser ke Indo-Pasifik, keterlambatan menyelesaikan postur pertahanan Kekuatan Pokok Minimum akan semakin memperlemah kepemimpinan strategis Indonesia di kancah politik kawasan dan global.

Terakhir, politisasi sejarah militer cenderung berulang kembali sebagai akibat proses yang dikenal dalam ilmu sosial sebagai path dependence: keputusan masa lalu membatasi pilihan dan keputusan masa kini sedemikian hingga seolah-olah kita tetap berada di jalur kebijakan (atau siklus sejarah) yang sama.

Hal ini karena politisasi sejarah militer seringkali terkait dengan proses pencarian legitimasi peran militer dalam negara dan masyarakat. Akibatnya, semakin sejarah militer dipolitisasi, semakin besar taruhan institusi negara untuk membenarkan proses tersebut. Sejarah militer akhirnya akan makin terpolitisasi dan terdistorsi dalam sebuah siklus negatif.

Siklus ini dapat diputus di saat-saat persimpangan kritis (critical juncture), seperti saat proses reformasi mulai bergulir sejak Mei 1998. Dalam hal ini, lengsernya Soeharto seharusnya menjadi momentum untuk mengakhiri politisasi sejarah militer demi mencari legitimasi publik.

Dengan kata lain, legitimasi peran militer seharusnya tidak lagi bergantung pada sejarah yang dipolitisasi (seperti peristiwa G-30S/PKI), tapi pada profesionalisme korps perwira, modernisasi persenjataan, dan transformasi kebijakan pertahanan secara keseluruhan sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis. 

Sebagai pengingat, membaiknya opini publik dan rasa hormat rakyat kepada institusi TNI selama satu dekade terakhir tidak bisa dilepaskan dari berbagai reformasi organisasi yang telah dijalankan dan "de-politisasi" lembaga dan fungsi militer.

Militer masa lalu mencari legitimasi dalam sejarah yang dipolitisasi; militer masa depan menemukannya dalam profesionalisme modern sebagai alat pertahanan negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com