Ketiga, kecuali kita siap mengkaji rentetan peristiwa 1965-66 secara sistematis, jujur, kritis, dan terbuka, perdebatan peristiwa 1965 akan menyita energi politik dan sumber daya pertahanan di saat perubahan lingkungan strategis Indonesia makin cepat.
Padahal, kebijakan pertahanan seharusnya diarahkan untuk menghadapi bangkitnya Tiongkok sebagai kekuatan militer yang disertai eskalasi rivalitas strategis dengan AS, memanasnya sengketa wilayah di Laut Tiongkok Timur dan Selatan, serta memburuknya persoalan perompakan dan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia---bukan mengawasi diskusi dan peredaran atribut "ke-kiri-an".
Ditambah dengan pengalihan sumber daya pertahanan ke program bela negara tanpa perencanaan matang, pengerahan personil militer secara nasional untuk pengawasan ideologi malah dapat memperlambat proses modernisasi alutsista TNI. Logika strategi mendiktekan bahwa sumber daya pertahanan selalu terbatas.
Lebih jauh, di saat pasar industri teknologi militer dunia tengah bergeser ke Indo-Pasifik, keterlambatan menyelesaikan postur pertahanan Kekuatan Pokok Minimum akan semakin memperlemah kepemimpinan strategis Indonesia di kancah politik kawasan dan global.
Terakhir, politisasi sejarah militer cenderung berulang kembali sebagai akibat proses yang dikenal dalam ilmu sosial sebagai path dependence: keputusan masa lalu membatasi pilihan dan keputusan masa kini sedemikian hingga seolah-olah kita tetap berada di jalur kebijakan (atau siklus sejarah) yang sama.
Hal ini karena politisasi sejarah militer seringkali terkait dengan proses pencarian legitimasi peran militer dalam negara dan masyarakat. Akibatnya, semakin sejarah militer dipolitisasi, semakin besar taruhan institusi negara untuk membenarkan proses tersebut. Sejarah militer akhirnya akan makin terpolitisasi dan terdistorsi dalam sebuah siklus negatif.
Siklus ini dapat diputus di saat-saat persimpangan kritis (critical juncture), seperti saat proses reformasi mulai bergulir sejak Mei 1998. Dalam hal ini, lengsernya Soeharto seharusnya menjadi momentum untuk mengakhiri politisasi sejarah militer demi mencari legitimasi publik.
Dengan kata lain, legitimasi peran militer seharusnya tidak lagi bergantung pada sejarah yang dipolitisasi (seperti peristiwa G-30S/PKI), tapi pada profesionalisme korps perwira, modernisasi persenjataan, dan transformasi kebijakan pertahanan secara keseluruhan sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis.
Sebagai pengingat, membaiknya opini publik dan rasa hormat rakyat kepada institusi TNI selama satu dekade terakhir tidak bisa dilepaskan dari berbagai reformasi organisasi yang telah dijalankan dan "de-politisasi" lembaga dan fungsi militer.
Militer masa lalu mencari legitimasi dalam sejarah yang dipolitisasi; militer masa depan menemukannya dalam profesionalisme modern sebagai alat pertahanan negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.