JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, saat ini pemerintah sedang mengkaji kebijakan mengenai bentuk hukuman bagi koruptor berupa pengembalian negara, penjatuhan penalti dan pemecatan dari jabatan.
Menurut Luhut, terkait rancangan kebijakan tersebut, Presiden Joko Widodo bersama Kemenko Polhukam dan Kemenkumham telah membentuk tim pengkaji.
Dengan adanya hukuman alternatif, Pemerintah bisa menyampingkan hukuman pidana penjara. Kebijakan ini dilatar belakangi asumsi bahwa koruptor tidak merasakan efek jera saat dipenjara.
"Kalau koruptor terbukti merugikan negara, kita bisa hukum dengan mengembalikan uang negara, ditambah penalti, dan pemecatan dari jabatannya. Kalau masuk penjara, maka penjara kita bisa penuh nanti," ujar Luhut di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (26/7/2016).
Selain itu, pertimbangan lain untuk tidak memenjarakan koruptor karena kondisi sel di Indonesia yang sudah tidak memadai untuk menerima tambahan narapidana dalam jumlah banyak.
Pemerintah, kata Luhut, juga sedang membandingkan praktik hukuman alternatif yang digunakan sejumlah negara lain terhadap para pelaku tindak pidana korupsi.
Namun, Menko Polhukam menerangkan pembahasan mengenai aturan ini masih pada tahap awal sehingga perlu lebih dimatangkan lagi konsep pemberian hukuman dan efek jeranya.
"Kita masih bicarakan masalah (hukuman) itu, saat ini masih terlalu awal," kata Luhut.
Sementara itu, ditemui secara terpisah Staf Khusus Menko Polhukam Bidang Politik dan Media Atmadji Sumarkidjo menjelaskan bahwa hukuman alternatif itu dimaksudkan untuk memiskinkan para pelaku tindak pidana korupsi.
Pemerintah sedang mengkaji apakah penyitaan aset yang dimiliki koruptor seperti rumah, tanah dan kendaraan bermotor bisa dimungkinkan.
"Hukuman alternatif ini dimaksudkan untuk memiskinkan para koruptor karena hukuman penjara saja dinilai tidak memberi efek jera," kata Atmadji.
Tak jera
Peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Vidhyandika Perkasa mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa fenomena korupsi saat ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dua tahun yang lalu.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh CSIS terhadap 3900 responden di 5 provinsi, sebanyak 66,4 persen berpendapat adanya peningkatan kasus korupsi.
Sementara 10,8 responden mengatakan, fenomena korupsi menurun dan 21,3 persen tidak mengalami perubahan.
Kelima provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, Maluku Utara dan Banten. Daerah tersebut termasuk dalam daerah prioritas pencegahan korupsi oleh KPK.
Vidhyandika mengatakan, mayoritas responden menganggap adanya peningkatan fenomena korupsi dari maraknya berita-berita kasus korupsi di media massa.
"Sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa fenomena korupsi semakin meningkat. Umumnya, mereka tahu dari maraknya berita soal korupsi di media massa," ujar Vidhyandika saat memberikan keterangan terkait hasil survei nasional "Persepsi dan Pengalaman Masyarakat Terhadap Fenomena Korupsi di Indonesia" di kantor CSIS, gedung Pakarti, Jakarta Pusat, Selasa (26/7/2016).
Menurut Vidhyandika, meningkatnya fenomena korupsi tersebut disebabkan lemahnya penegakan hukum bagi terpidana korupsi.
Sebanyak 50,7 persen responden menilai, penegakan hukum belum memberikan efek jera bagi koruptor.
Vidhyandika menuturkan, hukuman rata-rata bagi terpidana kasus korupsi hanya dua tahun. Hal tersebut juga didukung data dari ICW yang menyebut tuntutan jaksa di kasus korupsi cenderung rendah.
"Saat ditanya responden ditanya penyebabnya, rata-rata mereka menjawab penegakan hukum tidak memberi efek jera," kata Vidhyandika.
Selain itu, peneliti CSIS Arya Fernandes mengatakan, dari hasil survei diketahui sebagian besar masyarakat ingin mekanisme pemberantasan korupsi seharusnya dilakukan dengan menjerat lebih banyak pejabat yang terduga korup dan menerapkan hukuman yang lebih berat.
Pejabat negara yang korupsi harus diberhentikan dan dilarang untuk bekerja kembali di kantor pemerintahan.
"Dari aspek penegakan hukum masyarakat berpendapat aparat penegak hukum harus menjerat lebih banyak pelaku korupsi dan memberi hukuman lebih berat. Pejabat yang terbukti korup juga harus dipecat dan dilarang bekerja kembali di pemerintahan," ujar Arya.