Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal RUU Antiterorisme, Ketua PP Muhammadiyah Minta Pemerintah dan DPR Belajar dari Sejarah Reformasi

Kompas.com - 25/07/2016, 16:40 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Keberhasilan TNI menangkap istri pimpinan Mujahidin Indonesia Timur, Santoso, Jumiatun Muslimayatun alias Delima, tanpa kekerasan, dinilai tak bisa menjadi dasar ditambahnya wewenang TNI dalam penanggulangan teroris.

Delima ditangkap beberapa hari setelah suaminya tewas dalam baku tembak dengan Satgas Gabungan TNI-Polri dalam Operasi Tinombala di Poso, Sulawesi Tengah.

"Tidak bisa sebuah kasus menjadi dasar (penambahan wewenang). Perlu ada keajegan (konsistensi) kasus (serupa)," kata Busyro di Kantor PP Muhammadiyah, Senin (25/7/2016.

(Baca: Ada Pasal Pelibatan TNI, Ketua Komisi III Sebut Revisi UU Antiterorisme Jangan Kebablasan)

Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi itu meminta, agar DPR yang kini tengah menggodok revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belajar dari sejarah reformasi 1998.

Menurut dia, saat itu intelijen TNI berperan besar di dalam sejumlah aksi kekerasan yang terjadi saat itu.

Ia khawatir jika TNI dilibatkan dalam penanggulangan terorisme, justru menimbulkan ancaman baru terhadap pelanggaran hak asasi manusia.

"Itu korbannya masih (ada) dan pelakunya merupakan bagian dari state terorism di era Orba. Itu intelijen tentara yang main," kata dia.

Dengan tidak ditambahnya wewenang TNI, menurut dia, pemerintah dan DPR justru telah menyelamatkan marwah TNI sebagai alat pertahanan negara.

(Baca: Muhammadiyah Tolak Penambahan Wewenang TNI dalam Pemberantasan Teroris)

Sebab, pemberantasan teroris merupakan bagian dari upaya penegakkan hukum yang menggunakan norma hukum sipil. "Jangan sampai TNI tercemar lagi seperti di era Orba. Karena kesannya TNI merupakan alat kekuatan tertentu," ujarnya.

Sejumlah kalangan menyorot draf UU Antiterorisme yang sedang digodok DPR. Itu karena ada pasal yang menyebut bahwa TNI memiliki kewenangan yang sama dengan kepolisian untuk memberantas terorisme di dalam negeri.

Pelibatan TNI mendapat penolakan dari banyak pihak. Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo misalnya. Bambang menilai terorisme selama ini masuk dalam penegakan hukum sipil dan tak diperlukan keterlibatan tentara dalam penanganannya.   

Kompas TV Jumiatun, Kunci Perburuan Jaringan Santoso
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com