(Baca: Kapolri Imbau Kelompok Santoso yang Tersisa untuk Serahkan Diri)
Kepala Divisi Humas Polri Boy Rafli Amar mengakui kemampuan Santoso menjadi panglima di kelompoknya. Santoso mampu merekrut puluhan orang untuk bergabung di kelompoknya. Tak hanya orang Indonesia, tapi juga bangsa Uighur.
"Kelompok Santoso ini cukup kuat. Luar biasa, bagaimana caranya orang Uighur bisa percaya ke dia," kata Boy.
Bahkan, ada warga di kaki Gunung Biru yang menjadi simpatisan kelompok ini. Mereka diam-diam memasok makanan dan logistik. Kelompok teroris lain seperti Mujahidin Indonesia Barat pun terafiliasi dengan kelompok ini.
"Semacam memberikan support kepada mereka (Santoso) yang berjuang di sana. Sepertinya mereka dijadikan basis latihan," kata Boy.
Berganti-ganti Sandi Operasi
Operasi pengejaran kelompok Santoso sempat berkali-kali berganti sandi. Mulanya operasi pengejaram itu dinamakan "Camar Maleo".
Camar Maleo I dimulai pada 26 Januari 2015 hingga 26 Maret 2015. Kemudian dilanjutkan dengan sandi Camar Maleo II hingga 7 Juni 2015.
Sandi berganti lagi menjadi Camar Maleo III yang dimulai sejak 9 September 2015 itu. Camar Maleo IV berlangsung setelah itu dan berakhir 9 Januari 2016.
(Baca: Santoso Tewas, Jokowi Ingatkan Operasi TNI-Polri Jangan Melemah)
Setelah itu, sandi Camar Maleo tak lagi digunakan, berganti operasi Tinombala. Operasi dengan sandi baru ini dimulai sejak 10 Januari 2016 dan berakhir 8 Mei 2016 lalu dan diperpanjang hingga 8 Agustus 2016.
Setelah dievaluasi, tim gabungan merombak beberapa personil mereka dengan orang-orang baru dan mengganti strategi.
"Targetnya bagaimana mereka yang melakukan pelatihan di kawasan atau daerah yang saat ini dilakukan pengejaran, kami bisa menghentikan pelatihan itu dan bahkan kembali ke masyarakat," kata Boy.
Muncul Friksi
Satu per satu anggota kelompok Santoso berhasil ditangkap dan juga menyerahkan diri. Sebagian alasannya karena mereka kelaparan akibat diputusnya pasokan logistik.