JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan wacana operasi bersama dengan Filipina dalam upaya pembebasan tujuh WNI yang disandera bukanlah hal baru.
Hal tersebut bahkan telah dibahas sejak tahun 1975 oleh kedua negara yang perbatasan wilayah perairannya saling berdekatan itu.
"Nah, dalam upaya pembebasan WNI kali ini, pesan itulah yang secara kuat akan kami sampaikan, sebab Pemerintah Indonesia sama sekali menentang upaya pembebasan sandera dengan cara membayar," ujar Retno saat diwawancarai di Kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), di Jakarta Pusat, Senin (11/7/2016).
(Baca: Bahas Pembebasan WNI, Menhan Akan Bertemu Menhan Malaysia dan Filipina di Kuala Lumpur)
Retno menyatakan, dalam perjanjian bilateral tahun 1975 antara Indonesia dan Filipina, terdapat tiga elemen kerja sama dalam hal pengamanan wilayah perbatasan di perairan masing-masing. Yakni coordinated operation, join patrol, dan coordinated patrol.
"Jadi sebenarnya kalau ngomongin bilateral antara antara Filipina dan Indonesia, sudah ada agreement yang melandasi kemungkinan diimplementasikannya tiga hal itu," tutur Retno.
"Sekarang kita bicara dalam konteks trilateral dasarnya juga ada, yakni pertemuan di Yogyakarta 5 Mei kemarin, negosiasi sudah dua kali, jadi ini bukan hal baru lagi, tapi hal biasa," lanjut Retno.
Karena itu, Retno pun berharap Pemerintah Filipina memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah Indonesia terkait pembebasan tujuh WNI yang disandera di Perairan Filipina. Yakni, tak menggunakan uang tebusan dan bisa menggunakan salah satu alternatif dari tiga bentuk kerja sama yang telah ada.
"Apalagi kemarin dalam komunikasi yang intensif, sudah deal upaya pembebasan bisa mengarah ke salah satu dari tiga bentuk kerja sama tadi, antara Indonesia dan Filipina, kami harap kerja sama di lapangan seperti itu bisa segera diterapkan," sambung Retno.
(Baca WNI Kembali Disandera, Kewibawaan Indonesia Dipertanyakan)
Tiga anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia kembali disandera kelompol bersenjata yang berbasis di Filipina. Ketiganya memiliki izin kerja di kapal pukat berbendera Malaysia.
Kapal itu disergap speed boat di perairan Malaysia pada Sabtu (9/7/2016) pukul 23.30. Speed boat tersebut berisi lima lelaki bersenjata api. Dari tujuh penumpang kapal pukat, empat orang diantaranya dibebaskan.
Tiga ABK WNI kemudian dibawa ke perairan Filipina. Pemerintah Indonesia baru menerima laporan resmi soal penyanderaan tersebut pada 10 Juli. Peristiwa panyanderaan ini terjadi untuk kali keempat.
Sebelumnya, tujuh anak buah kapal (ABK) WNI lebih dulu disandera kelompok Abu Sayyaf di perairan Sulu, Filipina Selatan. Penyanderaan itu terjadi pada Senin (20/6/2016). Selain membajak kapal, penyandera meminta tebusan sebesar Rp 60 miliar.
Lalu, 10 WNI ABK kapal tunda Brahma 12 disandera kelompok Abu Sayyaf dan dibebaskan pada awal Mei 2016. Selain itu, empat ABK kapal tunda Henry juga disandera kelompok yang sama. Keempatnya dibebaskan pada pertengahan Mei 2016.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.