Luka batin masa lalu, entah karena disakiti “mantan”, disakiti musuh, dikhianati orang kepercayaan, difitnah rekan kerja atau orang terkasih, atau karena cekcok dengan keluarga, tak semestinya dibawa lari sepanjang hidup. Luka itu harus dibasuh, dibalut, hingga akhirnya kering dan sembuh.
Obat apa yang bisa membasuh dan menyembuhkan luka seperti itu? Tak ada obat kedokteran dan tak ada ahli kedokteran yang mampu menanganinya. Hanya kekuatan maaf pada diri kita masing-masing yang bisa melakukannya.
Saatnya memaafkan
“The power of maaf” ini memang tiada tara. Orang-orang pemaaf cenderung memiliki kesehatan jiwa yang powerfull. Nah, Anda ingin mencoba kekuatan maaf itu?
Inilah hari yang tepat untuk Anda coba. Idul Fitri telah tiba. Inilah hari kemenangan bagi umat Islam yang satu bulan penuh telah berhasil menunaikan puasa. Supaya lebih jelas, kekuatan maaf tak hanya bisa dilakukan pada saat Idul Fitri, bisa dilakukan kapan pun saat kita perlu memberikan maaf.
Banyak orang meremehkan kata maaf, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di saat hari raya Idul Fitri. Karena persoalan ingin menyampaikan maaf secara langsung inilah, salah satunya, menjadi salah satu alasan mengapa ribuan hingga jutaan orang rela berjubel-jubel di antara kemacetan “sadis”, seperti yang terjadi di tol Pejagan-Brebes Timur dan di Pantura.
Mereka bukan sekadar bepergian atau sekadar menjalani rutinitas pulang kampung.
Perjalanan mereka adalah upaya menghantarkan selaksa dan bahkan sejuta maaf kepada orangtua, orang yang dituakan, dan juga sanak saudara di kampung. Bagi sebagian orang Indonesia, terutama orang Jawa, berkumpul dengan sanak saudara di kampung merupakan momentum langka, setahun sekali dan bahkan bisa bertahun-tahun terjadi sekali.
Satu hal lagi, sebagian orangtua Jawa di kampung (sekali lagi sebagian, sebagian yang saya ketahui), terutama dari generasi baby boomers (lahir sekitar 1946-1964) atau sebelumnya, hingga generasi X awal (lahir sekitar 1965-1980), memiliki keterbatasan ekspresi lisan untuk meminta maaf. Orang-orang yang satu keluarga di kampung, cenderung jarang menggunakan ekspresi dengan kata-kata formal meminta maaf.
Tak hanya soal maaf, banyak pula yang memiliki keterbatasan ekspresi lisan untuk mengatakan cinta pada pasangannya (suami atau istri), atau kepada orangtua, atau kepada anak-anak dan cucu-cicitnya. Keluarga saya di kampung termasuk tipe seperti itu. Aneh? Jangan heran, sepertinya ini warisan orangtua generasi tua di kampung kami.
Amat sulit untuk bisa mendengar kata-kata seorang ibu yang menyatakan sayang atau cinta kepada anak-anaknya. Yang justru sering terdengar adalah "maki-makian" orangtua pada anak-anaknya.
“Enggak usah pulang Lebaran juga enggak apa-apa, beneran ayamnya utuh,” itu contoh salah satu basa-basi “sadis” yang umum keluar dari orangtua kepada anaknya.
Namun, pada akhirnya, saya tahu kalau basa-basi “sadis” itu adalah ungkapan sayang dan cinta tak ternilai harganya kepada anak-anaknya. Seorang ibu yang galak, bisa sesenggukan di pojok rumah ketika tahu anaknya tak bisa pulang mudik. Terasa tak lengkap jika ada salah satu anaknya yang tak bisa pulang.
Jika sudah berkumpul sekeluarga, tiba-tiba, biasanya, air mata berlelehan saat sungkeman di hari nan fitri. Hanya saat itulah, mereka yang tak pernah sempat mengatakan ekspresi lisan cintanya dan maafnya kepada sanak saudaranya, hari itu secara lisan menyampaikannya secara ikhlas. Maaf dan cinta berbalut satu di hari nan fitri. Syahdu.
Akhirnya, mudik bukanlah ritual tahunan semata. Mudik itu pulang. Pulang menemui keluarga tercinta, pulang merawat cinta yang tak terkata-katakan, menjalin tali persaudaraan, menjumpai masa lalu, berdamai dengan keadaan, pulang membasuh luka batin, serta pulang untuk meminta maaf dan memaafkan mereka yang telah menyakiti kita.
Pada akhirnya, jika kita berlapang dada untuk meminta maaf atau memaafkan, inilah momentum pulang menjemput energi berlimpah dari kekuatan maaf. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diri kita sendiri pula.
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa yang memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat, maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim. (QS Asy-Syura: 40)
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1437 H. Mohon maaf lahir dan batin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.