JAKARTA, KOMPAS - Muda, berprestasi, dan memiliki latar belakang akademik tinggi menjadi modal Komisaris Jenderal Muhammad Tito Karnavian sebagai Kepala Kepolisian Negara RI ke-23. Tiga modal itu menghadirkan harapan baru bagi publik atas kehadiran wajah baru Polri yang humanis dan profesional.
Tentu butuh kerja keras untuk mewujudkan harapan publik tersebut. Pasalnya, masalah seputar citra kepolisian di tengah masyarakat sudah menjadi persoalan sejak lama.
Bahkan, masalah wibawa dan citra Polri telah menjadi salah satu bahan pengarahan Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata M Jusuf dan Presiden Soeharto pada 1978.
Terdapat dua hal yang menjadi penyebab, yaitu menurunnya kemampuan teknis profesionalitas kepolisian dan kurang responsifnya Polri dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (Awaloedin Djamin, 2016).
(Baca: Tito Karnavian dan Langkah Mulusnya Menuju Trunojoyo-1...)
Namun, Tito punya modal untuk mewujudkan harapan publik tersebut. Citra polisi yang lebih humanis sudah pernah ditunjukkan Tito ketika menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya (Juni 2015- Maret 2016).
Siapa yang tidak ingat slogan polisi internasional atau Interpol, yaitu "Turn Back Crime", yang kini justru dikenal publik sebagai milik Polda Metro Jaya.
Berbagai cendera mata bertuliskan slogan itu, mulai dari kaus, jaket, topi, hingga gelang, laris diburu. Publik pun tidak segan menggunakan atribut itu sebagai bagian identitas kepolisian.
Tak hanya itu, Polda Metro Jaya di bawah kepemimpinan Tito juga menghadirkan logo baru kepolisian, yakni satu sosok polisi kartun yang tersenyum sembari memberikan hormat.
Logo itu terpasang di semua kantor kepolisian, mulai kepolisian subsektor hingga kepolisian resor. Karikatur polisi bersahabat itu seakan menggantikan identitas kantor polisi dengan logo Tri Brata Polri.
(Baca: Tito Karnavian, Jenderal Bintang Tiga Termuda dengan Segudang Prestasi)
Pencapaian cemerlang di level polda dan satuan khusus, seperti Datasemen Khusus 88 Antiteror, membuka peluang bagi Tito untuk meraih prestasi terbaik ketika menjadi orang nomor satu di institusi Polri.
Peluang keberhasilan itu makin terbuka karena mengurusi jabatan Kapolri, bukanlah hal baru bagi Tito.
Ia pernah menjadi sekretaris pribadi Kapolri Jenderal (Pol) Dibyo Widodo serta sempat pula menjadi Asisten Perencanaan Polri pada masa kepemimpinan Jenderal (Pol) Sutarman hingga pada tiga bulan pertama era Badrodin.
Dengan rekam jejak itu, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Hermawan Sulistyo, menilai, Tito mengetahui dengan baik permasalahan internal Polri. Kini, Tito hanya perlu memiliki keberanian untuk melakukan reformasi internal seperti yang direncanakannya.
(Baca: Kisah Tito Karnavian, Pemuda Cerdas dari Palembang yang Pilih Jadi Polisi)
"Apakah ia punya nyali? Sebab, kebijakan reformasi internal itu akan bertabrakan dengan sejumlah kepentingan, mulai dari para seniornya hingga anggota DPR yang memiliki kuasa untuk mengatur anggaran Polri," ujar Hermawan di dalam acara Satu Meja di Kompas TV yang dipandu Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (22/6) malam.
Turut hadir sebagai pembicara dalam acara itu adalah Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Erma Suryani Malik, serta Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Benedictus Bambang Nurhadi.
Kepolisian demokratis
Menurut Hermawan, Tito perlu mengubah budaya di lingkungan sumber daya manusia Polri. Tito perlu mewujudkan kepolisian demokratis, yaitu kepolisian yang menjalankan prinsip-prinsip demokrasi, tetapi tidak tenggelam dalam bagian demokrasi.
Haris Azhar berpendapat, indikator keberhasilan reformasi Polri berada di tangan masyarakat. Tito harus mampu memastikan sejumlah program yang dicanangkan dapat dilaksanakan oleh jajaran kepolisian di lapangan.
Haris berharap, Tito juga memiliki keberanian menghentikan sejumlah dugaan kasus kriminalisasi yang melibatkan masyarakat sipil, termasuk aktivis anti korupsi. Polri juga harus tegas menolak titipan kasus yang diajukan pejabat negara.
"Masyarakat sering melihat ketidakadilan yang dilakukan polisi. Pak Tito harus tunjukkan keadilan bagi semua pihak atas dasar hukum," katanya.
Erma Suryani Malik mengatakan, sebagai Kapolri, Tito diharapkan memastikan terwujudnya prinsip transparansi dan akuntabilitas. Alhasil, melalui prinsip itu dapat dihasilkan petugas kepolisian di lapangan yang profesional dan tidak menyimpang.
Menurut Benedictus Bambang Nurhadi, Polri memiliki sistem yang menjunjung prinsip demokrasi. Karena itu, Polri memerlukan sosok pemimpin yang berkomitmen menjalankan prinsip itu.
Akhirnya, tantangan reformasi Polri yang diinginkan Tito tidak hanya berasal dari internal, tetapi hambatan terbesar berasal dari lingkungan masyarakat.
Menurut Hermawan, kepolisian bukan bagian terpisah dari masyarakat sehingga kondisi masyarakat dan pejabat negara yang masih buruk juga memengaruhi kondisi kepolisian.
Seperti dikatakan Jenderal dan Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte (1769-1821), "Seorang pemimpin adalah pemberi harapan", maka penunjukan Tito telah memenuhi unsur seorang pemimpin yang dikatakan Sang Kaisar.
Ya, Tito telah menghadirkan angin segar dan harapan baru agar Polri semakin humanis dan profesional.
*Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Juni 2016, di halaman 8 dengan judul "Harapan di Pundak Tito Karnavian".*