Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelihaian Nazaruddin dari Gemerlap Panggung Politik sampai Meja Hijau

Kompas.com - 15/06/2016, 09:10 WIB
Abba Gabrillin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Proses hukum terhadap kasus penerimaan gratifikasi dan pencucian uang yang dilakukan terdakwa mantan anggota DPR RI, Muhammad Nazaruddin, telah rampung dan akan diputus oleh majelis hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (15/6/2016).

Sidang hari ini adalah buntut panjang dari serangkaian sepak terjang Nazaruddin dalam sejumlah kasus korupsi yang dilakukan bersama-sama dengan pejabat pemerintah dan politisi lainnya.

Mantan politisi Partai Demokrat itu diperkirakan melakukan pencucian uang hingga mencapai Rp 1 triliun. Rangkaian korupsi yang dilakukan Nazaruddin mulai tercium Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat dia sedang dalam puncak karier politiknya menjadi Bendahara Umum Partai Demokrat.

Dengan posisi tinggi itu, rupanya Nazaruddin membangun jaringan bisnisnya dengan cara-cara melawan hukum. Aksesnya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memudahkan Nazaruddin mendapat proyek pemerintah.

Begitu kasusnya ini terbongkar, sejumlah politisi yang separtai dengan Nazaruddin pun ikut terseret ke meja hijau. Dia mulai membuka peran anggota-anggota Dewan lainnya setelah dicampakkan oleh Partai Demokrat.

Orang kepercayaan Anas

Karier politik Nazaruddin dapat dibilang pernah mencapai titik yang cukup tinggi. Ia menjadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Timur IV pada pemilihan legislatif tahun 2009.

Pada 2010, Nazarrudin ditunjuk sebagai Bendahara Umum Partai Demokrat. Ia dipercaya untuk mengurusi anggaran partai yang saat itu berkuasa sebagai pendukung utama pemerintah.

(Baca: Nazaruddin Mengaku Diminta Anas Bakar Semua Dokumen Keuangan Demokrat)

Nazaruddin terhitung menjadi kader Partai Demokrat sejak 2005. Kedekatannya dengan politisi Demokrat, Anas Urbaningrum, disebut-sebut sebagai salah satu alasan mengapa politisi muda berusia 33 tahun itu dapat diangkat menduduki jabatan strategis di internal partai.

Namun, kedekatannya dengan Anas juga yang diduga menjadi penyebab keterlibatannya dengan kasus korupsi.

TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum (kiri) menjalani persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin )kanan) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Senin (25/8/2014). Anas diduga terkait korupsi dalam proyek Hambalang, yang juga melibatkan mantan Menpora Andi Malarangeng.
Segalanya bermula saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam, Direktur Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang, dan Manajer PT DGI Mohammad El Idris di Kantor Kemenpora.

Mantan kuasa hukum Mindo, Komaruddin Simanjuntak, mengatakan, PT DGI memberikan sekitar 15 persen dari proyek wisma atlet senilai Rp 191 miliar kepada sejumlah pihak. PT Anak Negeri menerima 13 persen dan Sesmenpora menerima 2 persen.

(Baca: Anas: Nazaruddin "Criminal Collaborator", Bukan "Justice Collaborator")

Komaruddin adalah orang pertama yang menyampaikan dugaan keterlibatan sejumlah kader Partai Demokrat dalam kasus ini, termasuk Nazaruddin.

Pada 23 Mei 2011, pengurus Dewan Kehormatan Partai yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono memberhentikan Nazaruddin. Nazaruddin dianggap terkait dengan kasus anggaran dan memiliki konflik kepentingan dengan posisinya sebagai bendahara umum.

Selanjutnya: Terseret kasus korupsi

Terseret kasus korupsi

Pada 30 Juni 2011, KPK menetapkan Nazaruddin sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan wisma atlet. Nazaruddin yang tidak berada di Indonesia mencoba melarikan diri ke berbagai negara.

Nazaruddin tercatat berada di luar negeri selama 77 hari hingga akhirnya ditangkap oleh Interpol di Kolombia pada 7 Agustus 2011. Sebelum tertangkap, Nazaruddin telah diberhentikan dari keanggotaan partai.

Korupsi wisma atlet pada 20 April 2012, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan pidana empat tahun 10 bulan dan denda Rp 200 juta kepada Nazaruddin.

Di persidangan, Nazaruddin terbukti menerima suap sebesar Rp 4,6 miliar berupa lima lembar cek yang diserahkan Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah (DGI) Mohammad El Idris kepada dua pejabat bagian keuangan Grup Permai, Yulianis dan Oktarina Fury.

(Baca: Ini 12 Proyek Terindikasi Korupsi yang Dilaporkan Nazaruddin ke KPK)

Cek tersebut disimpan di dalam brankas perusahaan. Nazaruddin juga dinilai memiliki andil membuat PT DGI menang lelang proyek senilai Rp 191 miliar di Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Mahkamah Agung kemudian memperberat hukuman Nazaruddin, dari 4 tahun 10 bulan menjadi 7 tahun penjara. MA juga menambah hukuman denda untuk Nazaruddin dari Rp 200 juta menjadi Rp 300 juta.

MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menyatakan Nazaruddin terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

MA menilai Nazaruddin terbukti sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 12b Undang-Undang Pemberantasan Tipikor sesuai dakwaan pertama.

Jika di pengadilan tingkat pertama Nazaruddin hanya terbukti menerima suap saja, menurut MA, dia secara aktif melakukan pertemuan-pertemuan.

Selanjutnya: Gratifikasi dan cuci uang

Gratifikasi dan cuci uang

Setelah menjalani vonis atas kasus korupsi wisma atlet, Nazaruddin harus kembali menjalani persidangan untuk kasus gratifikasi dan pencucian uang.

Nazaruddin didakwa menerima gratifikasi dari PT Duta Graha Indah dan PT Nindya Karya untuk sejumlah proyek di sektor pendidikan dan kesehatan, yang jumlahnya mencapai Rp 40,37 miliar.

Saat menerima gratifikasi, Nazaruddin masih berstatus sebagai anggota DPR RI. Nazaruddin juga merupakan pemilik dan pengendali Anugrah Grup yang berubah nama menjadi Permai Grup.

Nazaruddin juga didakwa melakukan pencucian uang dengan membeli sejumlah saham di berbagai perusahaan yang uangnya diperoleh dari hasil korupsi.

(Baca: Akal-akalan Nazaruddin Samarkan Harta Puluhan Miliar Hasil Korupsi)

Pembelian sejumlah saham yang dilakukan Nazaruddin dilakukan melalui perusahaan sekuritas di Bursa Efek Indonesia menggunakan perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Permai Grup, kelompok perusahaan milik Nazaruddin.

Berdasarkan surat dakwaan, sumber penerimaan keuangan Permai Grup berasal dari fee dari pihak lain atas jasanya mengupayakan sejumlah proyek yang anggarannya dibiayai pemerintah.

Dari uang tersebut, salah satunya Nazaruddin membeli saham PT Garuda Indonesia sekitar tahun 2011, menggunakan anak perusahaan Permai Grup.

Jaksa penuntut umum dari KPK menuntut agar Nazaruddin dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Selain itu, jaksa penuntut umum menuntut agar harta milik Nazaruddin senilai lebih kurang Rp 600 miliar yang termasuk dalam pencucian uang, dirampas untuk negara. 

Kompas TV Nazaruddin Minta Anas Bicara Jujur
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com