JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nur Herawati, menilai bahwa akar permasalahan terjadinya tindak kekerasan seksual bukan pada cara perempuan bersikap. Melainkan, tidak adanya perubahan pola pikir dan perilaku.
Ia menyebut, hingga kini, perempuan masih dijadikan sebagai objek seksualitas.
"Kalau begitu, sama saja termasuk diskriminasi terhadap perempuan. Kenapa tidak laki-laki saja yang menahan hawa nafsunya," ujar Sri dalam Focus Group Dissccusion yang digelar Polres Metro Jakarta Selatan, Jakarta, Jumat, (27/5/2016).
"Kenapa yang disalahkan pihak perempuan karena dengan menggunakan pakaian yang minim dan tubuhnya yang mengundang," lanjut dia.
(Baca: Ini Efek Hukuman Kebiri Kimiawi pada Tubuh)
Siti mengatakan, sejumlah kasus justru menimpa perempuan yang berpakaian santun. Bahkan beberapa diantara ada yang memakai hijab.
"Seperti kekerasan seksual yang terjadi di Pesantren. Masyarakat terdekat pun terstigma dengan hal tersebut, karena tidak mengakui korban sebagai korban. Jadi bagaimana, menggali keterangan (adanya kekerasan seksual)," kata dia.
(Baca: Perppu Kebiri Ditandatangani, Jokowi Dinilai Ambil Langkah Radikal Lindungi Anak)
Pemerintah menyoroti kasus kekerasan seksual yang marak terjadi belakangan ini. Namun, pemerintah masih fokus pada kekerasan seksual terhadap anak.
Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
(Baca: Ini Isi Lengkap Perppu Kebiri)
Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara, dan minimal 10 tahun penjara.
Perppu juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.
Hukuman tambahan ini menyasar pelaku kejahatan seksual berulang, beramai-ramai, dan paedofil atau terhadap anak di bawah umur. Undang-undang itu nantinya disampaikan ke DPR untuk dikaji kembali.