Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
F.X. Lilik Dwi Mardjianto
Ketua Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara

pengagum jurnalisme | penikmat sastra | pecandu tawa riang keluarga

Dilema Jurnalisme Modern: Privasi, Anonimitas, dan Enkripsi

Kompas.com - 16/05/2016, 19:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Jika Anda seorang jurnalis, atau paling tidak penggemar jurnalisme, semoga tidak mengerutkan dahi setelah membaca judul di atas. Judul itu sepintas seperti ingin menelanjangi jurnalisme. Kenyataannya tidak demikian.

Ya, tulisan ini justru ingin memberikan pakaian kepada jurnalisme, pakaian yang akan melindungi jurnalisme dari berbagai cibiran dan cemooh.
 

Saat itu, di penghujung 2009, kegelisahaan lama kembali muncul. Saya, dan dua jurnalis surat kabar nasional menemui seseorang yang menjanjikan “hal besar”. Pertemuan ini cukup aneh.

Pertama, kami bertemu menjelang dini hari. Dari sisi waktu, itu bukan saatnya orang bekerja. Kedua, kami bertemu di sebuah warung tenda, sebuah tempat yang terlalu terbuka untuk pertemuan yang diklaim “rahasia”.

Singkat kata, kami bertemu dengan seseorang yang selama ini kami sebut dengan nama panggilan tertentu. Padahal, kami tahu nama aslinya.

Kata sandi tadi hanya hanya berlaku bagi kami, tiga wartawan yang sedang menulis sebuah kasus yang sama. Setelah beberapa saat bebincang, kesan santun mulai menempel di sosok itu.

Tutur katanya pelan. Tawanya muncul sesekali saja. Senyum muncul jauh lebih sering.
Sedikit demi sedikit, kami mulai meladeni beberapa pertanyaan. Memang sedikit aneh.

Menurut kami, kamilah yang seharusnya lebih banyak bertanya. Namun, rasa aneh itu hanya tertahan di hati, tidak sampai meloncat dari mulut. Semakin lama, orang itu semakin banyak berbicara.

Salah satu hal yang ia bicarakan adalah kasus yang sedang diberitakan oleh banyak media saat itu. Menurut dia, kasus itu penuh rekayasa.

Rasa tidak percaya mulai muncul. Bagaimana seorang bisa berani berdiri seorang diri, melawan barisan aparat penegak hukum, dan mengatakan bahwa kasus yang menimpa dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah sebuah rekayasa?

Ya, saat itu, dua pimpinan antirasuah itu diduga menerima uang suap dari pengusaha yang sedang berkasus.

Kami minta bukti. Dan orang itu menyanggupi. Dia akan memperlihatkan transkrip percakapan hasil penyadapan telepon. Dan, menurutnya, segala rekayasa terungkap di dalam transkrip itu.

Kami terdiam, sedikit tidak percaya. Namun, kenyataan bahwa orang ini selalu berada di lingkaran dalam kasus tersebut telah menguatkan niat kami untuk menerima tawaran. Sebuah tawaran untuk mendalami sebuah transkrip rekaman.

Pertemuan untuk mendapatkan transkrip itu berlangsung di tempat terpisah. Kali ini, kami bertemu di sebuah kamar hotel, menjelang subuh.

Kamar hotel itu tidak terlalu lebar, namun masih bisa menampung dua tempat tidur. Kedua tempat tidur itu berada di sisi kanan pintu masuk. Berhadapan dengan pintu masuk adalah sebuah meja kerja dan jendela. Kamar mandi ada di sebelah kanan meja tersebut.

Si pemilik transkrip sudah berada di dalam kamar tersebut ketika kami tiba. Dia pamit ke kamar mandi dan sesaat kemudian keluar lagi. Setelah itu, dia mengambil tas dan mengeluarkan satu bundel kertas.

“Ini transkripnya,” katanya sambil menyerahkan dokumen hasil penyadapan telepon tersebut.
“Saya mau tidur, silahkan didokumentasikan, tapi jangan difoto atau dibawa pulang”.

Setelah mengatakan itu, dia merebahkan diri di tempat tidur.

Tanpa pikir panjang, kami ketik setiap kata di dalam transkrip itu. Kami mengingat, bahkan menggambar, bagaimana tata letak dokumen tersebut. Intinya, kami dokumentasikan segala hal yang ada di atas kertas itu.

Kami tidak menggunakan kamera. Itu semata-mata untuk menghormati kepercayaan sumber. Tak ada yang bisa menjamin dia mengintip di sela tidurnya, atau memasang kamera perekam di tempat yang tersembunyi.

Suasana di luar hotel mulai terang ketika proses dokumentasi selesai. “Sampai bertemu lagi, jangan sebut nama saya di dalam berita,” kata si sumber menutup perjumpaan itu.

Di luar hotel, semua berlangsung normal. Orang-orang berangkat kerja. Kemacetan mulai terasa, bahkan sampai di bahu jalan.

Sepertinya, hanya tiga wartawan yang mengalami ketidaknormalan; bekerja menjelang subuh, dan pulang dengan mengantongi dokumen rahasia.

Beberapa hari sejak hari itu, beberapa pertemuan lain kembali dilakukan. Komunikasi juga tidak terhenti, termasuk komunikasi melalui email khusus dengan kata-kata sandi yang tak biasa.

Setelah melalui serangkaian tahap verifikasi, awak redaksi akhirnya menayangkan beberapa artikel tentang dugaan rekayasa kasus yang menjerat pimpinan KPK, tanpa ada nama narasumber tadi. Hanya ada dokumen dan konfirmasi beberapa pihak resmi.

Cerita semakin menuju klimaks ketika pada akhirnya Mahkamah Konstitusi memutar rekaman hasil penyadapan.

Keputusan itu antara lain disebabkan oleh pemberitaan mengenai dugaan rekayasa itu. Isi rekamannya sama persis dengan dokumen yang kami peroleh jauh hari sebelumnya.

Celah hukum

Salah satu cibiran terhadap jurnalisme adalah berkaitan dengan keberadaan narasumber tanpa nama di dalam berita. Nada sumbang itu tak hanya berasal dari luar kalangan jurnalis, namun juga dari dalam.

Sudah banyak ulasan mengenai hal itu. Beberapa dari ulasan berpijak pada argumentasi logis tentang keberadaan sumber anonim. Yang lain mencoba melibatkan Undang-Undang Pers.

Namun, sepertinya, undang-undang itu sama sekali tidak menguraikan tentang sumber tanpa nama. Hanya satu ketentuan di dalam Undang-Undang Pers yang mengulas hal tersebut.

Ketentuan itu adalah hak tolak, yaitu hak wartawan untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.

Undang-undang itu masih menyisakan sejumlah lubang. Misalnya, ketentuan mengenai hak tolak ada ketika si wartawan diperiksa oleh penyidik atau bersaksi di pengadilan, tanpa penjelasan sedikitpun tentang penerapan hak tersebut di dalam proses penulisan berita.

Bahkan, undang-undang malah cenderung menganggap remeh hak tolak dengan memasukkan aturan pembatalan jika penyidik ingin membongkar atas nama kepentingan negara dan ketertiban umum.

Pertanyaan lanjutannya adalah, adakah dasar hukum lain untuk membenarkan penggunaan sumber tanpa identitas?

Selanjutnya: Payung hukum

Payung hukum

Setiap tahun, di awal Mei, dunia merayakan Hari Kebebasan Pers. Untuk 2016, Finlandia menjadi tuan rumahnya.

Perayaan tahun ini cukup spesial karena menjadi ajang persiapan bagi Indonesia yang didaulat menjadi tuan rumah untuk perayaan 2017. Selain itu, perayaan di Finlandia juga menarik karena membahas beberapa hal yang “mutakhir”.

Salah satu topik yang mencuat di Finlandia adalah privasi di era internet. Topik ini bisa jadi bukan menjadi topik utama.

Namun, keberadaan beberapa buku, hasil penelitian, dan pernyataan tentang hal itu di setiap sudut ruang konferensi membuat sebagian orang memberikan perhatian pada akhirnya.

Ide tentang privasi sangat relevan dengan anonimitas, termasuk dalam kegiatan jurnalistik.
Kata “privasi” tercantum secara jelas dalam pasal 12 Universal Declaration of Human Rights.

Kurang lebih, dokumen PBB itu menegaskan bahwa “tak seorang pun bisa diganggu privasi, keluarga, rumah, dan korespondensinya. Setiap orang memiliki hak atas nama hukum untuk melawan gangguan atau serangan semacam itu”.

Hal yang sama juga dinyatakan ulang di dalam pasal 17 International Covenant on Civil and Political Rights. Instrumen hukum internasional ini juga telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang nomor 12 Tahun 2005.

Secara khusus, PBB melalui UNESCO menerjemahkan privasi itu ke dalam beberapa bentuk, di antaranya adalah hak untuk tampil anonim.

Badan PBB untuk pendidikan dan kebudayaan itu melihat anonimitas sebagai hak seseorang. Hal itu penting dan layak diterapkan dalam dunia jurnalistik dan kegiatan aktivis pembela HAM serta kepentingan publik.

Resolusi 52 yang dihasilkan di dalam konferensi ke-37 UNESCO menyebutkan bahwa “privasi adalah sarana vital untuk melindungi sumber jurnalistik”.

Sumber-sumber semacam itu, menurut resolusi tersebut, sering kali memberikan manfaat bagi kepentingan publik sehingga harus diberikan hak untuk menjadi anonim jika memang diperlukan.

Salah satu alasan untuk “melenyapkan” identitas adalah faktor keamanan dan keselamatan sumber.

Kami, paling tidak saya, masih melihat keputusan untuk menyembunyikan identitas sumber informasi rekayasa kasus pimpinan KPK sebagai tindakan yang tepat.

Selain karena si sumber meminta demikian, keselamatan sumber itu bisa terancam jika identitasnya terungkap ke publik. Keputusan itu diambil dengan mempertimbangkan ketegangan antarinstitusi, potensi teror dan ancaman, serta berbagai hal teknis lainnya.

Di era internet saat ini, diskusi tentang anonimitas sangat mungkin berlanjut ke wacana perlindungan komunikasi antara sumber dan wartawan atau aktivis.

Keystones To Foster Inclusive Knowledge Societies, sebuah penelitian yang dilakukan oleh UNESCO, menguraikan bahwa seseorang sebenarnya memiliki hak untuk melakukan enkripsi (kode khusus) untuk setiap komunikasi digital yang mereka lakukan.

Hal itu menjelaskan bahwa seseorang memiliki hak untuk tampil personal dan terbatas di internet, sebuah wilayah yang sangat publik. Enkripsi memungkinkan seseorang untuk menutup segala bentuk komunikasi dari endusan pihak lain.

Wartawan seharusnya bersuara paling lantang untuk hak enkripsi itu. Mengapa? Jelas sekali jawabannya.

Banyak komunikasi yang dibangun oleh wartawan dan narasumber yang bersifat rahasia. Banyak pula dari sumber itu yang tidak mau tampil di publik.

Dengan sistem komunikasi terenkripsi, si sumber akan lebih merasa nyaman dalam memberikan informasi. Hal ini penting untuk liputan-liputan investigatif yang berguna bagi kepentingan publik.

Sudut pandang hukum internasional mengenai privasi, anonimitas, dan enkripsi ini bisa menjadi alternatif jawaban ketika wartawan dituding tidak fair karena menyembunyikan identitas sumber berita.

Selama proses kerja jurnalistik dilakukan secara patut, maka instrumen hukum internasional itu akan menjadi pakaian yang melindungi jurnalis dari ketelanjangan yang memalukan.

Namun, jika liputan dilakukan secara tidak beretika, maka pakaian tadi hanya akan jadi kedok untuk menutup cela.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

Nasional
Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Nasional
Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Nasional
Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

Nasional
Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Nasional
Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Nasional
Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Nasional
Jokowi Kembali Ingatkan agar Anggaran Tidak Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Jokowi Kembali Ingatkan agar Anggaran Tidak Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com