JAKARTA, KOMPAS.com -Di Hari Kartini tahun ini, ironi masih membayangi negeri ini. Semangat RA Kartini dalam menempatkan perempuan sebagai sebuah agen perubahan, nyatanya masih belum dapat dipenuhi sebagian perempuan.
Mereka justri terperosok dalam ke jurang korupsi dan akhirnya menjadi pesakitan. Bahaya korupsi memang begitu nyata.
Korupsi dapat dilakukan siapa saja, baik pejabat atau aparat pemerintah, swasta, maupun individu dan kelembagaan. Korupsi juga tak mengenal batas usia atau jenis kelamin.
Seiring dengan meningkatnya angka korupsi, jumlah perempuan yang terlibat dalam praktik kejahatan luar biasa ini juga semakin bertambah.
Berdasarkan statistik yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam situs acch.kpk.go.id, per 29 Februari 2016, KPK telah melakukan penyelidikan sebanyak 769 perkara, penyidikan 483 perkara, penuntutan 397 perkara, inkracht 323 perkara, dan eksekusi 343 perkara.
Dalam data KPK, setidaknya terdapat 48 perempuan yang pernah terlibat kasus korupsi.
Berikut beberapa perempuan yang harus berhadapan dengan KPK karena kasus korupsi:
Dalam kasusnya, Miranda dinyatakan terbukti bersama-sama Nunun Nurbaeti menyuap anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004, untuk memuluskan langkahnya menjadi Deputi Gubernur Senior BI pada 2004.
Adapun Nunun lebih dulu divonis dua tahun enam bulan penjara dalam kasus ini.
Meski pemberian suap tidak dilakukan Miranda secara langsung, majelis hakim menilai ada serangkaian perbuatan Miranda yang menunjukkan keterlibatannya.
Miranda dianggap ikut menyuap karena perbuatannya berhubungan dan berkaitan erat dengan perbuatan aktor lain, seperti Nunun Nurbaeti, serta anggota DPR 1999-2004, Hamka Yamdhu dan Dudhie Makmun Murod.
Perempuan yang sering tampil dengan gaya kepangan rambut itu dianggap terbukti melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Nunun Nurbaeti, istri mantan Wakil Kepala Polri Komjen (Purn) Adang Darajatun
Dia dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan memberi suap ke sejumlah anggota DPR 1999-2004 terkait pemenangan Miranda S Goeltom sebagai Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) 2004.
Selain hukuman penjara, Nunun yang pernah buron selama hampir dua tahun itu diharuskan membayar denda Rp 150 juta yang dapat diganti kurungan tiga bulan.
Selama dua tahun lebih, Nunun menghindari pemeriksaan dengan pergi ke luar negeri hingga akhirnya ditangkap di Bangkok, Thailand pada 10 Desember 2014.
Meski disebut buron, Nunun menolak diangga menghindari aparat penegak hukum. Dia mengaku selama ini melakukan pengobatan di luar negeri.
3. Direktur utama PT Hardaya Inti Plantation dan PT PT Cipta Cakra Murdaya (CCM), Hartati Murdaya
Hartati mulai ditahan di Rutan Pondok Bambu pada 12 September 2012. Baru pada 4 Februari 2013 majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 150 juta subsider kurungan 3 bulan penjara.
Hartati terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan dengan memberikan uang senilai total Rp 3 miliar kepada Bupati Buol Amran Batalipu terkait kepengurusan izin usaha perkebunan di Buol, Sulawesi Tengah.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Maret 2013 menjatuhkan vonis berupa hukuman penjara selama enam tahun ditambah denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan kepada Direktur Keuangan PT Anugerah Nusantara Neneng Sri Wahyuni.
Hakim menilai Neneng terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam pengadaan dan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008.
Istri mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin ini juga diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp 800 juta yang dapat ditukar dengan hukuman satu tahun penjara.
Uang pengganti yang dibebankan kepada Neneng ini senilai dengan keuntungan yang diterimanya dari proyek PLTS.
5. Mantan Putri Indonesia, Angelina Sondakh
Pengadilan tingkat pertama pada 10 Januari 2013, memutuskan Angie terbukti menerima suap sebesar Rp2,5 miliar dan 1,2 juta dolar AS dalam pembahasan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Selama menjalani hukuman, mantan politisi Partai Demokrat itu mengajukan upaya hukum berupa banding dan kasasi, hingga akhirnya Angie mengajukan permohonan peninjauan kembali di Mahkamah Agung.
MA kemudian mengabulkan PK yang diajukan Angie, sehingga mengurangi vonis menjadi pidana penjara 10 tahun ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Angelina tetap dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi melanggar Pasal 12a jo pasa 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6. Damayanti Wisni Putranti, Politisi PDI-P
Salah satunya adalah anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P Damayanti Wisnu Putranti dan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Hanura Dewie Yasin Limpo.
Damayanti ditetapkan sebagai tersangka setelah diduga menerima hadiah atau janji dari Chief Executive Officer PT Windhu Tunggal Utama (WTU) Abdul Khoir. Hadiah diberikan agar PT WTU tersebut mendapat pekerjaan di proyek Kementerian PUPR.
Adapun suap yang diberikan kepada Damayanti terkait proyek Jalan Trans-Seram di Maluku yang dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Pembangunan Rakyat.
Uang sebesar 33.000 dollar Singapura yang diberikan kepada Damyanti merupakan bagian dari commitment fee agar PT WTU mendapatkan proyek-proyek di bidang jasa konstruksi yang dibiayai dari dana aspirasi DPR di Provinsi Maluku.
PT WTU mengincar sejumlah proyek jalan di provinsi itu yang dianggarkan dari dana aspirasi DPR dan dicairkan melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
7. Dewie Yasn Limpo, politisi Hanura
Uang tersebut ditujukan agar Dewie memasukkan proyek pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua, ke dalam pembahasan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun 2016.
Irenius, Setyadi, dan Dewie sepakat bahwa fee yang diberikan sebesar tujuh persen dari nilai total proyek. Nilai proyek tersebut sebesar Rp 50 miliar.
Dengan demikian, Dewie meminta jatah sebesar Rp 2 miliar.
Dalam kesempatan itu juga, Setyadi memberikan uang ke Irenius dan Rinelda Bandaso, staf pribadi Dewie, masing-masing sebesar 1.000 dollar Singapura.
Namun, setelah serah terima uang dilakukan, ketiganya langsung ditangkap KPK di lokasi tersebut.