Tekad saya sudah bulat. Momentumnya pas. Sepanjang akhir pekan itu saya khususkan waktu menyelesaikan sebuah buku yang selalu gagal terbaca habis. Berjudul ‘India Grows at Night’, terbit tahun 2012, buku karya Gurcharan Das, seorang kolumnis India ngetop bermazhab liberal itu ringan gaya pengulasannya meski sesungguhnya berat isu yang dibahas.
Menjadi lebih menarik karena buku tentang kritik terkait jalannya pembangunan sosial ekonomi India tersebut bisa dijadikan refleksi bagi perkembangan negara-bangsa Indonesia saat ini.
Peran negara dan kekuatan korporasi
Bagi Gurcharan, menanggapi situasi sosial ekonomi kekinian dan peran negara dalam kehidupan masyarakatnya, India memiliki konteks sejarah dan tradisi yang berbeda dibandingkan dengan, katakanlah, China.
Di India, menurutnya, secara historis kehadiran negara cenderung lemah. Sedangkan rakyat, dengan berbagai dialektis dan tradisinya yang mengakar, telah begitu kuat. Sementara di China, peran negara selalu dominan, memimpin dan imperium. Sebaliknya, rakyat dengan segala tradisinya, kerap mengambil posisi yang ‘manut’.
Gurcharan tampaknya kecewa karena meski India dikelola oleh sekitar 25 juta pegawai negeri, namun peran negara dinilainya nyaris disfungsi dalam menghadirkan pelayanan, pembangunan dan infranstruktur publik berkualitas yang dibutuhkan rakyatnya.
Baginya, swasta atau korporasi-lah yang sesungguhnya membangun India, sedangkan negara ‘terlelap’ nyaris tak berbuat apa. Mengingatkan kita pada guyonan ‘negara autopilot’ di era pemerintahan SBY.
India menurut Gurcharan membutuhkan kehadiran negara yang tak perlu besar namun mampu menggunakan kekuatannya secara efektif. Efektif dalam hal memberikan perlindungan serta hak-hak dasar setiap warganya tanpa terkecuali. Efektif menjadi regulator yang adil dan berwibawa, menjamin kepastian hukum dan anti-korupsi. Serta, efektif menjadi pelayan publik yang jujur, transparan dan akuntabel.
Gurcharan adalah seorang liberal. Namun kita melihat problem India saat ini adalah kesenjangan sosial yang teramat luas antara yang kaya dengan yang miskin. Di sinilah peran negara, peran politik, dipertanyakan.
Memang, data menunjukkan ekonomi India berkembang pesat. Perusahaan berukuran sedang dan besar India tumbuh bak jamur di musim hujan. Ribuan perusahaan lokal menjadi sasaran investasi asing. Setidaknya pada tahun 2010 lalu, terdapat 150 perusahaan India dengan kekayaan bernilai milyaran dolar
Amerika. Sekitar 25 di antaranya menembus jajaran perusahaan kompetitif berkelas global.
Hampir 400 dari 500 perusahaan dunia versi majalah Fortune dilaporkan melakukan outsource untuk pengembangan piranti lunak dan business process di India. Sementara sekitar 750 perusahaan asing telah menempatkan divisi riset dan pengembangan mereka di negeri berpopulasi satu milyar penduduk tersebut.
Hal ini menunjukkan tingginya kualitas human capital rakyat India yang pada gilirannya memberi dampak peningkatan gerak ekonomi secara makro. Ekonomi India kontemporer tumbuh antara lain karena fokus pada strategi pembangunan manusia (pendidikan/SDM), sektor bisnis keuangan, ekonomi kreatif dan teknologi informasi.
Meski demikian, perkembangan itu tak selaras dengan wajah dan kinerja pemerintahan lokal India secara umum yang dipersepsikan negatif. Institusi negara, baik dari tingkat pusat sampai daerah, berkinerja rendah khususnya dalam kapasitasnya sebagai regulator dan penegak hukum, serta inkompeten dalam hal penyediaan layanan dan infrastruktur publik yang baik. Jurang kesenjangan sosial akibatnya semakin melebar.
Agak-agak mirip dengan di sini, kapitalisme kroni dan pengusaha pencari rente masuk dalam institusi-institusi perumus kebijakan publik. Khususnya dalam sektor real estate, energi dan infrastruktur, India didominasi sejumlah blok oligarki bisnis politik superkaya yang memiliki koneksi dengan kekuasaan.
Gaduh memberi ruang
Membaca buku adalah sebuah perjalanan sekaligus sebuah perenungan. Sebagai bangsa yang juga berkembang kita pun membutuhkan negara yang efektif, yang berubah semakin baik, berkinerja dan bermanfaat untuk rakyatnya.
Satu kesamaan yang kita miliki dengan India adalah demokrasi. Demokrasi memang gaduh namun memiliki virtue dan memberikan jaminan secara konstitusional suara-suara alternatif dan berbeda untuk hidup dan berkembang. Demokrasi juga memberikan kesempatan dan ruang berpartisipasi kepada rakyat secara inklusif ikut mengawasi atau tampil memimpin pemerintahan.
Dalam konteks Indonesia, dari sono-nya, sejak nusantara di kala jaya maupun pada saat formasi awal Indonesia merdeka, bahkan saat proses pergulatan era reformasi, tradisi kebudayaan, partisipasi dan dialektika kerakyatan termanifestasikan secara kuat ditandai dengan tampilnya kekuatan rakyat, masyarakat sipil, kaum intelektual berkombinasi dengan elite, kalangan priyayi, yang tercerahkan.
Betul bahwa musuh demokrasi rakyat adalah oligarki. Karena itu kehadiran masyarakat sipil yang otonom, kuat dan cerdas menjadi teramat penting sebagai penyeimbang kekuatan politik serta bisnis yang cenderung eksesif.
Keberadaan masyarakat sipil India, ditandai dengan entitas kelas terdidik progresif dan kuatnya landasan modal sosial tradisional berupa nilai-nilai dharma yang dianut, kemudian berhasil mewujud menjadi sebuah habitus politik penyeimbang yang berkualitas, kritis dan efektif dalam mengontrol kekuasaan, sekaligus membangun diri dan jejaring kelas sosial advokasi dan intelejensia-nya secara unik dan khas India.
Pelajaran ini memberikan hikmah bahwa pembangunan manusia harus menjadi prioritas kebijakan utama. Jalan pendidikan adalah strategi transformasi terbaik bagi seluruh individu warga, mewujud menjadi suatu lapisan kelas menengah yang berguna untuk mendorong ekonomi secara kreatif.
Tapi juga bermanfaat membangun bangsa: sebagai sebuah kekuatan sosio-politik kolektif, merawat nilai dan nasion, menumbuhkan inisiatif dan potensi kepemimpinan-kepemimpinan baru, serta memperkuat demokrasi.
Era kolonial jangan terulang
Akhirnya, saya hanya ingin menyampaikan, di tengah intrik elite, rivalitas berbagai kekuatan bisnis politik dan infiltrasinya pada ranah publik, di tengah tak jelasnya koordinasi sektor pembangunan sosial, kesehatan, pendidikan, urusan desa serta reformasi pelayanan publik, betapa pemerintahan Presiden Jokowi harus segera memusatkan perhatiannya pada isu pembangunan manusia ini dan menyelaraskannya dengan proyeksi perkembangan sosio ekonomi dan politik manusia Indonesia ke depan.
Agenda pembangunan infrastruktur tetap penting. Namun kita harus hati-hati jangan sampai terulang kebijakan era kolonial yang dilakukan Herman Willem Daendels (1762-1818), Gubernur Jenderal Belanda yang membangun jalan Anyer-Panarukan hanya untuk kepentingan pemilik modal atau akumulasi kapital di tengah rakyat jajahan yang miskin dan dimiskinkan dikarenakan otoritas publik yang eksploitatif dan gak bener bekerja.
Agenda pemberdayaan sosial bukanlah program abstrak jika negara dan aparatnya melakukannya secara lebih terarah, serius dan bertanggung jawab; terintegrasi, terencana, terevaluasi dan berkelanjutan; bukan menjadi rutinitas, jargonistik atau sekedar untuk penyerapan anggaran; apalagi alasan untuk kesempatan melakukan korupsi atau bagi-bagi posisi.
Yuk ah, tabik
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.