“Keberanian para aircrew kita membuka sedjarah Penerbangan Nasional kita, sebagai symbool bahwa Bangsa Kita telah melepaskan belenggu djadjahan, telah menghantjurkan sangkar jang menawannja, dan sebagai elang jang bebas merdeka, mengarungi Angkasa Indonesia Merdeka.
...Tetap awas dan waspada; Memperkuat disiplin lahir dan bathin; Mempertinggi achlak dan budi pekerti; Mempererat persatuan. Djika kita memperhatikan pokok itu dan sedjarah perkembangan Angkatan Udara kita selama sewindu ini, maka nistjaja kita akan mentjapai tudjuan kita jang tertjantum dalam sembojan Pandji kita, Swa Bhuwana Paksa. Tetap Merdeka!”
-Soeriadi Suryadarma, 9 April 1954.
Menjelang hari ulang tahun Angkatan Udara Republik Indonesia ke-70, 9 April 2016, rasanya pidato Bapak AURI, Marsekal Soeriadi Suryadarma pada 9 April 1954 di atas, menjadi sangat pas.
AURI lahir lewat keberanian, dari pengetahuan yang sama sekali nol tentang kedirgantaraan, dan hanya bermodal semangat dan kegembiraan lepas dari belenggu penjajah, AURI berkembang menjadi Angkatan Udara yang terkuat di Asia pada masa itu.
Merujuk apa yang tertulis di Majalah Angkasa edisi 7 April 1999, 17 tahun pertama berdirinya AURI di bawah kepemimpinan KSAU pertamanya, Marsekal Suryadarma dicatat sebagai kenangan manis. Ditulis selengkapnya,
“AURI mulai tumbuh besar. Buktinya, ketika Perdana Menteri U Nu dari Burma menginjakkan kakinya di Lanud Husein Sastranegara guna menghadiri konperensi Asia Afrika. Tokoh kelas dunia ini terpana ketika melihat jejeran B-25 begitu banyak di pelataran parkir. Kepada Wiweko yang menjemput, dia berujar singkat, ‘I have never seen so many aircrafts together.’
Majalah berbahasa Belanda Vliegwereld (Dunia Penerbangan) tanpa ragu juga menulis: AURI angkatan udara paling ditakuti di Asia Tenggara. Air Pictorial, majalah penerbangan Inggris turut mengutip: Ditilik dari sudut materil, AU Australia ketinggalan total dari AURI.” (lihat Majalah Angkasa No. 7, April 1999 Tahun IX, “Kenangan Manis 17 Tahun”: 49-53.)
Mosaik kehidupan Soeriadi Suryadarma bergandeng erat dengan mosaik besar kesejarahan TNI Angkatan Udara sekaligus mosaik besar sejarah nasional Indonesia. Kisah kehidupannya berkait-kelindan dengan kisah berkembangnya Angkatan Udara di tanah air Indonesia.
Sangat tepat bila negara menganugerahinya gelar Bapak AURI, di masa kepemimpinan KSAU Marsekal Hanafie Asnan. Beliau adalah KSAU pertama dan terlama (menjabat selama 16 tahun), sekaligus peletak dasar dan pemikir utama bagi berkembangnya sistem pendidikan kedirgantaraan di Indonesia baik sipil maupun militer, yang membuatnya menjadi tokoh terdepan dalam khasanah kedirgantaraan tanah air.
Sulit dan memerlukan banyak buku rujukan untuk menuturkan kembali alur hidup dan perjuangannya, serta merekam perjalanan hidupnya lewat tebaran berbagai pustaka, dokumen dan koleksi foto lama milik keluarga.
Apa dan bagaimana sebetulnya visi Bapak AURI Marsekal Soeriadi Suryadarma, yang kemudian menjadi peletak dasar pengembangan Angkatan Udara Republik Indonesia sejak awal berdirinya, 9 April 1946?
Pidato itu menggambarkan visi pengembangan AURI dalam 8 tahun pertama. Naskah pidato aslinya dimuat lengkap dalam buku Sewindu Angkatan Udara Republik Indonesia, 9 April 1946-9 April 1954 yang diterbitkan Markas Besar Angkatan Udara Republik Indonesia, Biro Penerangan (MBAU, 1954).
Kegigihannya dan kepercayaan dirinya yang kuat bahwa Indonesia yang baru merdeka ini tidak mustahil memiliki Angkatan Udara yang kuat, lahir dari tempaan masa kecilnya yang prihatin.
Masa kecil Bapak AURI ini tidak banyak diketahui orang, padahal justru masa kecillah yang membentuk pribadi seorang tokoh besar. Dari Soeriadi Suryadarma, generasi muda bisa memetik teladan, bahwa kemampuan memutuskan segala sesuatu dalam hidup seorang diri, ternyata manfaatnya sangat banyak di masa dewasa. Tak semua yang berawal pahit, akan juga berakhir pahit.
Masa Kecil yang Pahit dan Getir
Soeriadi, nama panggilan kanak-kanak Soeriadi Suryadarma, lahir di Banyuwangi pada tanggal 6 Desember 1912. Kota Banyuwangi kini adalah ibukota Kabupaten Banyuwangi yang terletak di ujung paling timur Provinsi Jawa Timur. Jaraknya 178 km ke arah Timur dari kota Surabaya, Ibukota Provinsi Jawa Timur.
Seperti yang dikisahkan kepada istrinya, Utami Suryadarma dalam Saya, Soeriadi dan Tanah Air (Yayasan Bung Karno, 2012), Soeriadi tak mengenal ibunya yang meninggal dunia sejak ia masih bayi. Tak berapa lama kemudian, ayahnya, R. Suryaka Suryadarma, seorang pegawai bank di kota Banyuwangi, juga meninggal dunia. Saat itu Soeriadi belum berusia lima tahun.
Keluarga Soeriadi masih keturunan Keraton Kanoman, Cirebon. Kakek buyutnya adalah Pangeran Zakaria, yang nama lainnya: Aryabrata. Pangeran Zakaria, salah satu keturunan langsung Sultan Kanoman.
Kakeknya -putra Pangeran Zakaria- adalah Dokter Pangeran Boi Suryadarma, yang di dalam memoar Utami Suryadarma ditulis sebagai Dokter Abdul Rahman Suryadarma. Dokter Boi Suryadarma seorang lulusan dokter di zaman STOVIA dan salah satu anggota perkumpulan Boedi Oetomo yang tersohor mempelopori pergerakan nasional di masa itu.
Tentang sosok pribadinya yang sangat mandiri dan penghargaan Soeriadi terhadap orang-orang yang mendidiknya sejak kecil, dituliskan begini dalam memoar Utami Suryadarma,
“Sosok pengganti ibu bagi Soeriadi kecil adalah saudara ipar kakeknya, yang ia panggil Eyang Putri. Ia sangat dekat dengan eyang putrinya. Bahkan di usia dewasa dan ketika sudah menikah, Soeriadi kemudian mengajak eyangnya tinggal selalu bersamanya. Juga ikut dengan mereka seorang anak perempuan eyangnya yang dipanggil “Bibi” oleh Soeriadi.”
Kedua perempuan yang begitu berarti di masa kecil Soeriadi ini sayangnya tidak tercatat siapa namanya di dalam tulisan Utami Suryadarma. Sampai mereka menutup mata, baik Eyang Putri maupun Bibi ini tinggal bersama pasangan Soeriadi dan Utami Suryadarma.
Itulah sebabnya hingga Soeriadi dewasa dan menikah, perhatiannya sangat besar pada perempuan lanjut usia. Mereka semua mengingatkan Soeriadi pada sosok eyang putri pengganti almarhumah ibunya.
Beruntung, garis keturunan bangsawan dari kakeknya, membuat Soeriadi bisa masuk sekolah-sekolah Belanda bermutu. Di masa itu, sekolah-sekolah Belanda sebetulnya melarang keras anak pribumi masuk dan mendaftar sebagai siswanya. Kecuali mereka yang berdarah biru atau orangtuanya bekerja sebagai ambtenaar, pegawai pemerintah Belanda.
Soeriadi tumbuh menjadi seorang self-made man. Orang yang teguh pada pendirian dan tidak pernah mundur setapakpun dari apa yang telah menjadi cita-citanya.
Utami Suryadarma (2012) menulis, Soeriadi menempuh pendidikan resmi pertama di sebuah sekolah dasar Belanda, Paul Krugerschool yang lokasinya sekarang terletak di kompleks Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD) Kwitang, Jakarta Pusat.
Tamat sekolah ini pada tahun 1926, ia melanjutkan ke Hogere Burgere School (HBS) di Bandung. Tak berapa lama, Soeriadi remaja pindah kembali dan melanjutkan sekolah menengah atas di Batavia.
Sekolahnya, KW (Koning Willem) III, sebuah HBS di Batavia yang paling terpandang di masa itu, yang terletak di daerah Matraman. Gedungnya masih lestari dan sekarang menjadi gedung pertemuan di area Perpustakaan Nasional.
Cinta Dirgantara
Namun, sejak kapan sebetulnya timbul rasa cinta kepada angkasa dan keinginan kuat menjadi penerbang mulai timbul dalam diri Soeriadi Suryadarma?
Soeriadi bercerita kepada istrinya, bahwa ia tergetar dan merasa yakin, angkasa adalah panggilan jiwanya sejak ia bersekolah HBS di Bandung, saat usianya masih awal belasan tahun. Itu semuanya dimulai dari kesukaan dan kegemarannya menjelajah alam bebas, mulai dari hutan sampai pegunungan.
“Baginya, alam bebas merupakan unsur mutlak dalam hidupnya. Karena alasan itulah, angkasa raya menjadi sasaran hidupnya. Ia ingin menjadi penerbang. Sejak duduk di bangku HBS Bandung, ia suka sekali pergi ke lapangan terbang Andir untuk mengamat-amati pesawat terbang yang sedang ber-take off.
Ia sangat suka mengikuti dengan mata telanjang pesawat-pesawat tersebut melayang di udara sampai hilang dari pandangan mata. Sejak itu, tekadnya menjadi seorang penerbangsemakin kuat. Selain itu, Soeriadi gemar berburu. Tidak semata-mata untuk membunuh binatang, namun berada di alam bebas,” tulis Utami Suryadarma.
Menurut catatan Subdisjarah AURI, lapangan terbang Andir baru selesai pembangunannya pada bulan Maret 1922. Lapangan terbang ini adalah pengganti lapangan terbang lama yang berada di daerah Sukamiskin, Bandung.
Tamat pendidikan lanjutannya di KWS atau KW III, ia kemudian merintis cita-citanya menjadi penerbang dengan lebih dulu menempuh pendidikan militer di Breda, Belanda. Tidak mudah menjadi salah satu siswa Breda. Tetapi, sifat dan pendiriannya yang pantang menyerah membuatnya berhasil merintis jalannya.
Pada tahun 1931, dalam usianya yang masih 19 tahun, ia sudah mengetahui tujuan hidupnya: menjadi penerbang dengan lebih dulu menempuh sekolah perwira di Breda.
Tekad Kuat Menjadi Penerbang
Soeriadi Suryadarma adalah satu dari sedikit orang yang sudah tahu apa cita-citanya sejak masih kanak-kanak. Ia selalu ingin menjadi penerbang. Utami Suryadarma menulis tentang ini.
“Saya mulai mengerti, ‘berada di sana’ bukan disebabkan karena Soeriadi mengejar ambisi, kedudukan, pangkat, namun karena itulah satu-satunya jalan untuk mencapai cita-citanya: mengarungi angkasa raya, sebagai penerbang.
Sepanjang hidupnya pangkat dan kedudukan tidak pernah amat berarti baginya. Satu-satunya yang sangat berarti adalah hidup dan bekerja dalam lingkungan yang dicintainya: Angkatan Udara,” demikian Soeriadi bercerita kepada istrinya.
Di zaman kolonial, cita-cita ini sulit tercapai kecuali ia masuk sekolah militer Breda (KMA) di Belanda. Padahal, pemerintah Hindia Belanda menerapkan aturan yang sangat diskriminatif bagi pribumi yang mengikuti seleksi calon kadet di Breda.
Pada masa Soeriadi Suryadarma hendak masuk ke KMA, hanya tersedia jatah satu kursi setiap tahun bagi pemuda pribumi yang ingin masuk sekolah kemiliteran Breda. Ini kemudian menjadi kerugian bagi pemerintahan kolonial Belanda, karena ketika Perang Pasifik (1937-1945) pecah, mereka miskin personil tentara yang cakap. Sedikit sekali perwira Indonesia lulusan Breda.
Perwira yang lain adalah tamatan Nood Akademie (Akademi Darurat) di Bandung, atau keluaran CORO Corps Opleiding Reserve-Officeren atau Korps Pendidikan Perwira Cadangan, yang dianggap sebagai korps cadangan.
Sangat berbeda dengan politik kolonial Inggris terhadap negara jajahannya India, yang menghasilkan ratusan perwira dan penerbang lulusan Akademi Militer Sandhurst.
Sejarawan Sutrisno Kutoyo (1985) menulis, di kemudian hari jumlah mereka yang mengikuti pendidikan KMA Breda bertambah banyak. Lebih-lebih ketika Militaire Akademie Yogyakarta –yang sering disingkat MA Yogya- ditutup tahun 1950, sebanyak 27 orang tarunanya dikirim ke KMA Breda. Selain dari MA Yogya, sebagian taruna berasal dari Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) dan pelajar SMA Bagian B.
Demikianlah masa kecil sampai remaja Soeriadi Suryadarma. Masa kecil yang pedih tanpa kedua orang tua, tetapi sekaligus menempanya menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. Ia penyendiri dan perenung, yang justru membuatnya dalam usia yang sangat muda sudah dapat menemukan minat dan tujuan hidupnya.
Pada bagian berikutnya, saya akan menuliskan masa Soeriadi Suryadarma memimpin dan membesarkan AURI dengan mengirimkan 60 perwira terbaik untuk menjalankan sekolah penerbang Di TALOA, Amerika Serikat, tahun 1959-1960.***
Sumber: Aku Sayap Tanah Air, Kisah Hidup dan Perjuangan Bapak AURI Soeriadi Suryadarma (Imelda Bachtiar, 2015) dan Saya, Soeriadi dan Tanah Air, Kisah Kehidupan Istri Bapak AURI Utami Suryadarma (Utami Suryadarma, ed. Imelda Bachtiar, 2012)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.