Aku duduk bersila di Rumah Budaya milik Yotama Gotontalo XVIII, yang asri dan berkharisma di Desa Bongo, Kecamatan Batudaa Pantai di Kabupaten Gorontalo, bulan lalu, bersama puluhan budayawan Gorontalo.
Nama kerennya Desa Wisata Religius Bubohu Bongo Batudaa Pantai Gorontalo.
Kami berdiskusi tentang budaya nusantara yang kami gagas dalam "#MAJELISXXXII", perkumpulan nirlaba untuk kampanyekan Pasal 32 UUD 1945.
Kali ini aku didaulat bicara dan diskusi tentang budaya Gorontalo sebagai salah satu rumpun besar budaya nusantara yang harus dimajukan oleh negara.
"Alamak matilah aku ini. Sudah aku orang Batak diminta pula aku bicara budaya Gorontalo", teriakku bercanda kepada para budayawan itu.
Sebelum aku kupas habis itu Pasal 32 UUD 1945, aku ajak teman-teman bicara sedikit tentang bahasa lokal yg diatur dan dilindungi dalam ayat (2) Pasal 32 UUD 1945 secara bercanda.
Gubrak! Mendadak mereka tertawa lebar riang gembira ketika aku bilang, "Horas bah, salam Danau Toba untuk Danau Limboto" dengan khas logat Batak-ku yang kental tapi sudah modern.
"Jika diijinkan akan kukirimkan ribuan ton air Danau Toba untuk hidupkan lagi indahnya Danau Limboto," seraya mengajak semua sahabat di Gorontalo merawat budaya leluhurnya, yakni sikap Tutuhiya (politik berkompetisi) yang berbasiskan sikap Parakalolo (kecepatan berpikir dalam kecerdasan).
"Indahnya cross culture", kataku bangga dalam spirit Bhinneka Tunggal Ika.
Aku mulai canda gurauku yang ringan dan lucu. Paling tidak buatku dan budayawan Gorontalo itu. Aku bawa tema kecil kata "beras" dalam bahasa Batak, Gorontalo dan Inggris.
Bung Yotama sudah bisikkan aku arti kata "beras" dengan semua turunannya dalam bahasa Gorontalo. Sementara soal kata "rice" dalam bahasa Inggris kucatat sebagai terjemahan tunggal kata beras lengkap dengan turunannya.
"Bahasa lokal di Indonesia yg jumlahnya ratusan, jauh lebih kaya dari bahasa Inggris", kataku meyakinkan, sambil mengajak mereka membandingkan satu kata "Rice vs Beras" dalam bahasa Inggris dan bahasa Batak serta Gorontalo.
"Bahasa Batak dan Gorontalo itu bahasa yang sangat kaya dan sangat lengkap, sebaliknya bahasa Inggris sangat sederhana, kalau tak ingin disebut miskin", kataku sambil action di depan kamera yang merekam gayaku.
Agar lebih keren, kubetulkan Ulos Batak yang membalut leherku sampai pundak belakang dan kugerakkan tali kepala yang dibalut kain khusus Gorontalo berwarna kehijau-hijauan dan emas.
Ini contohnya, kataku. Lihat padi berwarna kuning keemasan yang ada di sawah. Orang Inggris menyebutnya "RICE". Orang Batak menyebutnya "EME", orang Gorontalo menyebutnya "PUNGO".