JAKARTA, KOMPAS.com - Situasi politik nasional pasca-terbitnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 mengalami banyak perubahan.
Khususnya untuk Presiden Soekarno yang kekuasaannya berkurang secara perlahan dan berpindah ke tangan Presiden Soeharto.
Tidak hanya kekuasaan yang berkurang dan menghilang, kondisi kehidupan Soekarno juga berubah drastis.
Kisah kehidupan Soekarno pasca-Supersemar dituturkan oleh salah satu mantan ajudannya, Sidarto Danusubroto. Sidarto adalah anggota kepolisian yang menjadi ajudan terakhir Bung Karno.
Saat dijumpai Kompas.com di kediamannya, Jakarta Selatan, Minggu (6/3/2016), Sidarto mengungkapkan bahwa masa peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto berjalan panjang.
Ia menyadari posisinya sebagai ajudan Soekarno di tengah kondisi politik yang tidak stabil akan menuai risiko.
Seusai mengikuti pendidikan Seskopol di Lembang, Februari 1970, Sidarto diinterogasi oleh Tenning Polsat (Tim Screening Kepolisian Pusat) atau Teperpu (Tim Pemeriksa Pusat). Interogasi itu berlangsung selama empat tahun.
Pada saat itu, semua yang dianggap "berbau" Soekarno atau diangap "kiri" tidak luput dari interogasi.
Teperpu ingin menggali informasi dari Sidarto, khususnya mengenai pihak yang merekomendasikannya menjadi ajudan Soekarno, dan pertemuan-pertemuan dengan para pendukung Soekarno.
Selama masa interogasi, Sidarto tidak diizinkan keluar kota. Kariernya pun disumbat dan tidak dapat menduduki jabatan operasional selama belum mendapatkan clearence dari Mabes Polri.
Baru pada akhir 1973, Sidarto mendapat clearence saat Kapolri dijabat Jenderal Moh Hasan. Selanjutnya, meski secara perlahan, karier dan pangkat Sidarto mulai mengalami kenaikan.
Sidarto sempat menjabat Kapolres Tangerang, Kepala Staf Komapta Polri, Wakapolda Jawa Barat, dan lainnya.
Sidarto mengawal Soekarno sebagai Presiden hanya dua pekan, yakni pada 6-20 Februari 1967. Setelah itu, kekuasaan beralih kepada Jenderal Soeharto.
Di masa-masa itu, Sidarto tetap menjadi ajudan Soekarno meski statusnya disebut sebagai "Presiden nonaktif." Ia kerap mendampingi Soekarno dalam berbagai kegiatan.
Sidarto juga menyaksikan saat Soekarno tidak diperbolehkan masuk ke Istana sekembalinya dari berkeliling Jakarta, sekitar Mei 1967.