Cerita Soekardjo soal penodongan Soekarno ini menimbulkan perdebatan. Sebab, selama ini diketahui hanya ada tiga jenderal yang menghadap Soekarno, selain Maraden Panggabean.
Maraden akhirnya berbicara kepada media setelah tulisan kesaksian Soekardjo dimuat media pada Agustus 1998.
"Saya sedih memperhatikan betapa bejat moral dan mentalitas seorang mantan perwira, yang bernama Soekardjo Wilardjito, yang mengisahkan berita bohong," tutur Maraden Panggabean, yang tahun 1966 menjabat Wakil Panglima Angkatan Darat (Kompas, 28 Agustus 1998).
Menteri Panglima AD (Menpangad)-nya adalah Letjen TNI Soeharto.
Pada saat penandatanganan Supersemar, Maraden mengaku tidak ada di Bogor, tetapi ada di Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta.
"Saya ingin menegaskan bahwa keterangan yang disampaikan mantan perwira (Soekardjo) tersebut tidak mengandung kebenaran sama sekali," ucap Maraden.
"Khusus mengenai keterangan yang mengatakan bahwa yang melakukan penodongan itu antara lain Mayjen TNI Panggabean, dengan ini saya tegaskan bahwa sikap melakukan penodongan untuk memperoleh sesuatu dengan kekerasan/paksaan tidak pernah menjadi sifat atau kepribadian saya," katanya lagi.
Bantahan kemudian juga disampaikan M Yusuf dan Soebandrio yang ada di lokasi saat Supersemar diteken.
Sejarawan Asvi Warman Adam mengaku tidak begitu memercayai cerita soal penodongan senjata ini. Namun, yang pasti, Soekarno berada dalam kondisi tertekan saat menandatangani Supersemar.
"Dipaksa dalam arti penodongan juga saya bantah karena tidak mungkin. Karena di sana ada pasukan Cakrabirawa, Ring 1, Ring 2, dan Ring 3. Tidak mungkin juga ada jenderal yang berani menodong Soekarno," kata Asvi dalam wawancara dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.
Menurut dia, serentetan peristiwa yang menggerus kekuatan politik Soekarno-lah yang menekan sang proklamator bangsa ini menandatangani Supersemar.
Isi Supersemar itu sebenarnya hanya untuk mengamankan presiden dan keluarga serta mengembalikan kondisi keamanan Tanah Air.
Namun, kalimat "mengambil suatu tindakan yang dipandang perlu" menjadi blunder terbesar Soekarno yang akhirnya membuat dia terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Soeharto selamanya.
"Itu adalah blunder dari Bung Karno, seorang sipil, yang memberikan perintah tidak jelas kepada militer," ucap Asvi.
Hari ini adalah 50 tahun lahirnya Supersemar. Sebuah misteri sejarah yang hingga kini masih belum terungkap. Naskah asli Supersemar pun masih diburu untuk menjawab tanda tanya seputar peralihan kekuasaan itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.