Tetapi sama seperti banyak kebijakan lain yang baru diterbitkan, pro kontra pasti mengemuka. Karena memang tidak pernah ada aturan yang memuaskan semua pihak. Dukungan untuk KPI datang dari kelompok masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Indonesia Beradab (GIB).
Larangan KPI terhadap program "laki-laki yang kewanitaan" dianggap tepat untuk merespons maraknya kampanye kelompok dengan orientasi seksual menyimpang.
"Kami sampaikan apresiasi dan dukungan karena kesadaran bahwa larangan (KPI) ini dapat menjadi tonggak sejarah masa depan peradaban keluarga dan bangsa Indonesia," kata Koordinator GIB, Ihshan Gumilar.
Ihshan menuturkan, GIB mendukung jika dibuat aturan hukum yang lebih besar untuk mengatur larangan lembaga penyiaran menayangkan dan mempromosikan perilaku seksual menyimpang. GIB terdiri dari 173 organisasi yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Efektivitas larangan KPI ini sangat bergantung pada tersedianya perangkat hukum yang memiliki kekuatan memaksa," ungkapnya.
Tetapi, pandangan berbeda muncul dari kelompok masyarakat yang lainnya. Larangan KPI dikritik. Hal ini karena, dari kacamata HAM, larangan menayangkan "laki-laki yang kewanitaan" adalah bentuk diskriminasi. Aturan itu juga dianggap mengebiri asas kebebasan berekspresi.
"KPI melakukan diskriminasi dengan memberi penekanan bahwa tindakan keperempuanan adalah hal yang tidak baik," kata Kordinator Koalisi Keberagaman Penyiaran Indonesia, Asep Komarudin.
Selain itu, edaran KPI juga dikhawatirkan menjadi alat legitimasi untuk melakukan diskriminasi terhadap individu dengan identitas dan ekspresi gender berbeda. Ia berharap KPI ikut mengedukasi masyarakat agar memiliki pemahaman komprehensif mengenai keberagaman gender.
"Sehingga mendapatkan pemahaman, menumbuhkan empati, bukan menanamkan kebencian," ungkapnya.
Selanjutnya: Tak akan pukul rata