Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revisi UU Kepolisian dan UU Kejaksaan Dinilai Lebih Penting ketimbang UU KPK

Kompas.com - 17/02/2016, 16:14 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, mengaku masih heran, mengapa DPR begitu semangat merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Padahal, kinerja KPK dinilai baik setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Ia melihat tak ada yang salah dengan lembaga antirasuah tersebut.

Apalagi, dalam 10 tahun terakhir KPK merupakan lembaga yang paling dipercaya publik. Sedangkan Kepolisian dan Kejaksaan yang angkanya jauh di bawah KPK malah tampak tak tersentuh oleh DPR.

"Kalau institusi ini (KPK) mampu menjaga wibawanya dalam 10 tahun terakhir, apa yang mau diubah dari KPK? Apanya yang diperkuat?" kata Ray dalam sebuah acara diskusi di bilangan Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (17/2/2016).

"Sebaliknya, lembaga yang paling bontot dipercaya publik, tidak pernah. Tidak pernah ada keinginan DPR untuk melakukan revisi terhadap UU Kepolisian dan UU Kejaksaan," ujarnya.

Revisi UU KPK, lanjut Ray, sudah bukan lagi pelemahan, namun pembunuhan perlahan terhadap komisi tersebut.

Pelemahan dari dalam dilakukan melalui revisi UU KPK karena pelemahan dari luar sudah tak mungkin dilakukan.

Hal tersebut salah satunya ditunjukan dengan adanya poin usulan terkait pembentukan Dewan Pengawas KPK.

Ray melihat, lembaga tersebut berpotensi memikiki fungsi persis seperti praktik pada era Orde Baru. (Baca: Ini Konsep Dewan Pengawas KPK yang Diinginkan DPR)

Karena KPK merupakan institusi di luar pemerintahan, maka pemerintah tak memiliki kekuasaan untuk secara langsung mengintervensi KPK.

Sementara pembentukan dewan pengawas akan secara otomatis membuat lembaga tersebut dapat dikontrol. Terlebih, dewan pengawas bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada pimpinan KPK.

(Baca: Dewan Pengawas Dapat Pengaruhi Independensi dan Akuntabilitas KPK)

Dewan pengawas pun memiliki kewenangan memberi dan tidak memberi izin terhadap permintaan penyadapan dari KPK. (Baca: Independensi KPK Tergerus Dewan Pengawas)

"Bukan sekadar melemahkan KPK tapi perlahan membunuh KPK. Sebab mengintervensi KPK, nanti muncul lah ketidakpercayaan yang kuas terhadap KPK," ujar Ray.

Sementara itu, peneliti Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar menyinggung pasal 46 ayat 3 revisi UU KPK yang menyebutkan bahwa dalam menetapkan seorang pimpinan lembaga tinggi negara sebagai tersangka harus mendapat persetujuan dan rekomendasi dari dewan pengawas.

Menurut Erwin, pasal tersebut juga bisa menghambat kinerja KPK ke depannya. Terutama dengan situasi politik yang koruptif, sejumlah pejabat negara berpotensi tak tersentuh.

"Misalnya OTT Pejabat MA. Logikanya larinya ke sekretaris MA. Kalau pakai logika UU ini, ini tidak bisa disentuh," ucap Erwin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya 'Clean and Clear'

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya "Clean and Clear"

Nasional
Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Nasional
Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada 'Presidential Club'

Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada "Presidential Club"

Nasional
Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Nasional
“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

Nasional
Soal Orang 'Toxic' Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Soal Orang "Toxic" Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Nasional
Cak Imin Harap Pilkada 2024 Objektif, Tak Ada “Abuse of Power”

Cak Imin Harap Pilkada 2024 Objektif, Tak Ada “Abuse of Power”

Nasional
Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com