Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tokoh Tionghoa dan Masalah Kewarganegaraan

Kompas.com - 03/02/2016, 18:37 WIB


Oleh Prasetyadji *)

Ketika embrio Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk lewat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggotanya terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, ras, maupun antar-golongan. Antara lain tokoh Arab (Baswedan), tokoh peranakan Belanda (PF Dahler), dan empat orang tokoh peranakan Tionghoa.

Mereka adalah Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, dan Yap Tjwan Bing. Nama terakhir juga masuk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pada awal kemerdekaan Indonesia sampai berakhirnya pemerintahan Bung Karno, ada enam orang tokoh Tionghoa yang duduk dalam pemerintahan. Mereka adalah: Ong Eng Die, Mohammad Hasan, Oei Tjoe Tat, David Chen Chung, Lie Kiat Teng (Mohammad Ali), Tan Po Gwan.

Peran politik warga Tionghoa bukan hanya dalam kabinet, namun dalam diplomatik politis, terdapat nama seperti: Dr Tjoa Siek In, yang ditunjuk pemerintah Indonesia dalam perundingan Renville.

Begitu pula Dr Sim Kie Ay yang oleh pemerintah ditunjuk sebagai anggota delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Hasil dari KMB adalah dibentuknya Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS).

Pada masa Demokrasi Parlementer, tahun 1950-1959, minimal ada delapan orang peranakan Tionghoa menjadi anggota legislatif, yaitu: Tan Po Gwan, Tjoa Sie Hwie, Tjung Tin Jan, Tan Boen Aan, Teng Tjin Leng, Siauw Giok Tjhan, Tjoeng Lin Sen (diganti Tio Kang Soen), dan Yap Tjwan Bing (diganti Tony Wen atau Boen Kim To).

Mengenai keturunan Tionghoa, tahun 1950 pemerintah RI membuka hubungan diplomatik dengan pemerintah RRT dan mulai mengadakan pembicaraan mengenai masalah dwi-kewarganegaraan RI-RRC.

Hal ini disebabkan karena UU kewarganegaraan RRT menerapkan asas ius sanguinis, sementara UU kewarganegaraan RI menerapkan asas ius soli, sehingga terjadi kewarganegaraan ganda bagi sebagian warga Tionghoa di Indonesia. Artinya secara hubungan darah sebagai warga negara RRT, namun dari sisi kelahiran sebagai WNI.

Nota perjanjian ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri RI Sunario dan Perdana Menteri RRT Chou En-Lai di Bandung 22 April 1955. Pelaksanaan perjanjian dwi-kewarganegaraan itu dimulai tanggal 20 Januari 1960 sampai dengan 20 Januari 1962.

Dwi Kewarganegaraan

"Bencana kewarganegaraan" bagi etnis Tionghoa mulai muncul ketika Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 tahun 1959 tanggal 16 Nopember 1959 atau dua bulan menjelang berlakunya pelaksanaan perjanjian dwi-kewarganegaraan RI-RRT.

Perpres itu berisi larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing di luar ibu kota daerah Swatantra tingkat I dan II serta Karesidenan.

Yang dimaksud dengan "perusahaan perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing" adalah yang tidak dimiliki oleh warga negara Indonesia. Yang terjadi di lapangan adalah, hampir semua etnis Tionghoa diusir dari wilayah desa maupun kecamatan untuk menuju daerah swatantra tingkat I dan II.

Saat perjanjian dwi-kewarganegaraan dilaksanakan (Januari 1960 - Januari 1962), mereka diberikan dokumen "Exit Permit Only" (EPO) untuk meninggalkan Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang 'Toxic'

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang "Toxic"

Nasional
Tanggapi Luhut soal Orang 'Toxic', Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Tanggapi Luhut soal Orang "Toxic", Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Nasional
Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Nasional
Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim 'Red Notice' ke Interpol

Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim "Red Notice" ke Interpol

Nasional
Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Nasional
Anggap 'Presidential Club' Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Anggap "Presidential Club" Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Nasional
Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Nasional
Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Nasional
KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat 'Presidential Club'

Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat "Presidential Club"

Nasional
'Presidential Club' Prabowo Diprediksi Jadi Ajang Dialog dan Nostalgia

"Presidential Club" Prabowo Diprediksi Jadi Ajang Dialog dan Nostalgia

Nasional
Gus Muhdlor Kenakan Rompi Oranye 'Tahanan KPK' Usai Diperiksa 7 Jam, Tangan Diborgol

Gus Muhdlor Kenakan Rompi Oranye "Tahanan KPK" Usai Diperiksa 7 Jam, Tangan Diborgol

Nasional
Adam Deni Hanya Dituntut 1 Tahun Penjara, Jaksa: Sudah Bermaafan dengan Sahroni

Adam Deni Hanya Dituntut 1 Tahun Penjara, Jaksa: Sudah Bermaafan dengan Sahroni

Nasional
Ide 'Presidential Club' Prabowo Diprediksi Bakal Bersifat Informal

Ide "Presidential Club" Prabowo Diprediksi Bakal Bersifat Informal

Nasional
Prabowo Mau Bentuk 'Presidential Club', Ma'ruf Amin: Perlu Upaya Lebih Keras

Prabowo Mau Bentuk "Presidential Club", Ma'ruf Amin: Perlu Upaya Lebih Keras

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com