Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merenungkan Toleransi di Malam Minggu

Kompas.com - 20/01/2016, 17:46 WIB

"Benarkah kita manusia?/ Benarkah bertuhan?/ Katakan, aku cinta kau/..."

Cuplikan lirik lagu "Di Bawah Tiang Bendera" ciptaan Franky Sahilatua dan Iwan Fals itu menyelimuti malam Minggu (9/1) di salah satu sudut Kota Cirebon, Jawa Barat.

Lebih dari 100 orang hanyut dalam lagu yang dinyanyikan pada peringatan enam tahun wafatnya KH Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur.

Sebagian orang menutup mata, merenungkan kata demi kata yang disuarakan Cepi Irawan, sang penyanyi. Bulu roma menggeriap. Angin seakan berhenti, tergantikan tarikan dan embusan napas.

Tidak ada sekat. Tua muda, rakyat dan wakil rakyat, duduk berdampingan. Ubi hasil kebun, kopi, dan bandrek ikut menghiasi acara yang dikemas sederhana itu.

Umat lintas agama, seperti Islam dan Kristen, memanjatkan doa kepada presiden keempat Republik Indonesia itu.

Meski tak pernah melihat Gus Dur, Muhamad Darussalam (17), siswa SMA 2 Plumbon, takzim ikut berdoa. Tanpa alas, ia duduk bersila di tanah.

"Lebih baik di sini, daripada malam mingguan berbuat yang tidak ada gunanya, bahkan bisa buat dosa," ucap Darussalam.

Bersama beberapa teman, ia menempuh sekitar 12 kilometer untuk belajar toleransi di haul Gus Dur.

Sesekali dengan pena di tangan ia mencatat ungkapan tokoh lintas agama setempat di notes lusuh miliknya.

Kala Gus Dur menjabat sebagai presiden, ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Nama besar bapak bangsa tersebut hanya terdengar di telinganya melalui televisi.

Beranjak remaja, lewat orangtua, guru, bahkan stiker, ia mencari tahu Gus Dur. Jangan tanyakan asal-usul Gus Dur, ia tak tahu.

Namun, ketika diminta hal apa yang dipelajari dari Gus Dur, sontak ia menunjukkan stiker yang menempel di laptopnya.

"Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu", demikian nasihat Gus Dur dalam stiker tersebut.

"Jadi, yang penting saling menghargai meski berbeda agama dan suku," ujar Darussalam tersenyum.

Stiker tersebut merupakan kenang-kenangan acara refleksi toleransi setahun lalu di Cirebon. Melalui kelompok kerohanian Islam di sekolahnya, ia belajar tentang peninggalan Gus Dur.

Hampir setiap acara yang berkaitan dengan toleransi di sekolah ataupun di luar sekolah, termasuk haul Gus Dur, kerap ia ikuti.

Selain doa lintas agama, acara yang digelar, antara lain, oleh Fahmina Institute dan komunitas Gusdurian Cirebon itu menghadirkan monolog, pembacaan puisi, dan konser musik.

Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun KH Husein Muhammad menyebut peringatan haul Gus Dur itu sebagai acara kebudayaan.

"Toleransi tidak hanya diajarkan melalui buku atau ceramah, tetapi juga lewat budaya, seperti duduk bersama lintas agama dan golongan," kata Husein.

Apalagi, di usia 70 tahun negeri ini, penghargaan terhadap perbedaan agama, suku, ras, dan kelompok masih tercederai.

Insiden sentimen beragama di Aceh Singkil, Aceh, dan Tolikara, Papua, tahun lalu menjadi catatan kelam toleransi di Indonesia.

Menumbuhkan cinta kasih

Padahal, menurut Yohanes Muryadi, anggota Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Cirebon, toleransi yang diajarkan Gus Dur seperti pupuk untuk menumbuhkan cinta kasih di bumi Indonesia.

"Beliau dianggap bapak bangsa di gereja Katolik," ucapnya.

Warisan Gus Dur terlihat dari kebijakannya saat menjadi presiden, yaitu mengakui agama Khonghucu sekaligus membebaskan penganut Khonghucu untuk menjalankan ibadah. Bahkan, penganutnya dapat merayakan hari keagamaan secara terbuka.

Anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Maman Imanul Haq, yang turut hadir, mengatakan, saat ini ada kelompok yang mencoba merusak kebinekaan Tanah Air.

Kebencian itu, lanjutnya, coba disebarkan melalui tiga cara, yakni membakar tempat ibadah; merusak melalui simbol, seperti terompet yang isunya terbuat dari lembar Al Quran; dan membawa konflik Timur Tengah ke Indonesia, seperti penyebaran paham kelompok teroris Negara Islam di Irak dan Suriah.

Namun, upaya itu selalu gagal karena sejak dahulu masyarakat Indonesia hidup dalam ras, suku, dan agama yang berbeda.

"Coba lihat sekarang, di Indonesia yang umat Islamnya terbanyak di dunia, pemimpin daerah non-Muslim bisa dipercaya rakyat. Yang penting sekarang kebijakan publik, apakah pejabat itu korupsi atau tidak, misalnya," ujarnya.

Maman mengingatkan, toleransi perlu dipraktikkan, antara lain, dengan mengajak generasi muda yang berbeda agama ataupun golongan belajar di sejumlah tempat keagamaan atau ikut dalam kerja kemanusiaan, seperti penanganan bencana.

Di akhir acara, saat malam Minggu akan berakhir, band beraliran punk, Marjinal, dengan lantang menganggap Gus Dur sebagai anak punk sejati.

"Gus Dur memperjuangkan nilai punk, yakni kesetaraan, baik secara hak berkelompok maupun secara ekonomi," kata Mike, personel Marjinal. (ABDULLAH FIKRI ASHRI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com