Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pergeseran Konfigurasi Penguasaan Partai

Kompas.com - 11/01/2016, 15:00 WIB
Oleh: Bestian Nainggolan

JAKARTA, KOMPAS - Hasil Pemilihan Kepala Daerah serentak periode 9 Desember 2015 menyiratkan perubahan konfigurasi kemenangan partai-partai politik yang cenderung dikuasai partai-partai pendukung pemerintah pusat.

Analisis terhadap data Komisi Pemilihan Umum yang menampilkan 802 pasangan calon bersaing di 261 daerah penyelenggara pilkada menunjukkan, PDI-P menjadi parpol yang meraih jumlah kemenangan terbesar. Dari sekitar 252 pasangan calon yang resmi diusung partai ini, setidaknya 125 pasangan calonnya meraih kemenangan. Selanjutnya, diikuti Partai Nasdem, Gerindra, PKS dan PAN, Demokrat, PKB, Hanura, Partai Golkar, PKPI, PBB, serta PPP.

Membandingkan dengan konfigurasi urutan kemenangan parpol dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2014, hasil yang dicapai tiap partai dalam ajang kontestasi di tingkat daerah ini tak identik sama. Kecuali posisi kemenangan PDI-P dan Gerindra, beberapa partai yang tergolong papan atas dalam pilkada periode kali ini tak mampu mempertahankan kedudukannya. Demokrat, misalnya, di posisi ke-6 di bawah Nasdem, PAN, dan PKS. Bahkan, Partai Golkar yang hingga kini masih dibelit konflik internal harus memanen "buah pahit" dari ketidaksolidannya. Pada pilkada kali ini, Golkar terpuruk di urutan ke-9. Begitu pula PPP yang masih berkonflik justru menjadi juru kunci.

Pada sisi yang lain, ada kecenderungan partai-partai pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menuai hasil. Selain PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura, juga PKPI mampu memenangkan pasangan calon dalam jumlah signifikan. Dari semua partai pendukung pemerintah, prestasi Nasdem tergolong menonjol dan mampu menduduki urutan kedua meraih kemenangan. Begitupun PKPI, yang pada Pileg 2014 berada pada posisi terakhir, kini mengungguli kemenangan PPP dan PBB. Bahkan, PAN yang belakangan mendukung pemerintahan Jokowi-Kalla juga memenangkan hingga 88 pasangan calon yang didukungnya dan mendudukkan PAN urutan keempat.

Semakin banyak kemenangan calon yang didukung partai-partai pendukung pemerintah, bagi kepentingan pemerintah pusat, tentu positif. Secara ideal, kondisi demikian mengindikasikan potensi keselarasan yang minim resistensi saat melaksanakan program pusat hingga ke daerah lewat kehadiran kepala daerah yang didukung partai pendukung pemerintah. Akhirnya, kelancaran dan terwujudnya program pembangunan di tiap daerah dengan sendirinya mempercepat perbaikan kualitas kesejahteraan masyarakat.

Sekalipun hasil pilkada mampu mengubah konfigurasi kemenangan partai-partai, pada sisi yang berbeda, keseluruhan hasil pilkada belum cukup kuat menunjukkan kualitas eksistensial partai berkontestasi. Pilkada ini menunjukkan, banyak sedikitnya jumlah kemenangan yang diraih tiap partai tak selalu identik dengan tinggi rendahnya produktivitas partai.

Sebagai gambaran, PDI-P memang mampu mendudukkan dirinya sebagai partai paling terbanyak memenangkan pasangan calon. Namun, hasil kajian menunjukkan, produktivitas kemenangan PDI-P tercatat 49,6 persen. Artinya, dari keseluruhan calon yang diusung PDI-P, hampir separuh yang berhasil jadi pemenang. Sebaliknya, separuhnya menderita kekalahan. Proporsi tersebut bukan yang tertinggi di antara parpol lainnya. Produktivitas kemenangan tertinggi dalam pilkada dicapai PKS yang mampu memenangkan 50,9 persen dari 173 pasangan calon yang diusungnya. Menyusul di posisi kedua Nasdem dan PDI-P. Adapun produktivitas kemenangan terendah diduduki Hanura. Partai-partai besar seperti Golkar dan Demokrat pun hanya meraih tak lebih dari 41 persen dari semua pasangan calon yang diusungnya.

Disfungsi kepartaian?

Di tengah kritik terhadap eksistensi fungsi partai, hasil pilkada ini dapat menjadi catatan keberhasilan partai. Sebagai contoh, hasil pilkada menunjukkan parpol masih signifikan dalam ajang kontestasi politik. Terbukti, pasangan calon yang didukung partai lebih banyak jadi pemenang dibandingkan calon perorangan. Namun, kesan partai masih sebatas kendaraan politik bagi pasangan calon, dan bukan menciptakan pasangan calon yang siap uji, masih belum terbantahkan.

Fenomena demikian tampak kontras jika dilihat dari betapa minimnya partai yang mengusung pasangan calon kepala daerah secara tunggal tanpa tambahan dukungan parpol. Tengok saja, dari 264 ajang pilkada, PDI-P jadi partai yang paling banyak mencalonkan kepala daerah (23 pasangan) tanpa tambahan dukungan parpol lain. Dari jumlah itu, 14 daerah berhasil dimenangi PDI-P. Kondisi yang agak berbeda terjadi pada partai-partai besar lainnya. Sekalipun memungkinkan untuk mencalonkan kadernya secara tunggal, tanpa perlu dukungan partai lain, tetapi pola-pola koalisi dukungan lebih banyak dilakukan. Gerindra, misalnya, partai yang memiliki beberapa kesempatan mencalonkan secara tunggal, hanya mencalonkan 1 pasangan. Demokrat mencalonkan 6 pasangan yang diusungnya secara tunggal dan hasilnya hanya 2 pasangan yang menang. Golkar yang mencalonkan 12 pasangan, tak satu pun menang.

Dalam perebutan kepemimpinan daerah, mayoritas partai lebih memilih berkoalisi dengan partai lain. Persoalannya, koalisi pencalonan yang terbentuk pun cenderung tak terpola. Latar belakang identitas kepartaian ataupun bentuk koalisi partai secara nasional yang muncul selama ini, seperti Koalisi Indonesia Hebat ataupun Koalisi Merah Putih, tak menjadi rujukan utama. Begitu pula hasilnya. Distribusi kemenangan berdasarkan kekuatan koalisi dalam pilkada tak tampak signifikan, yang sekaligus mengindikasikan wajah pragmatisme partai berkontestasi politik. (Litbang Kompas)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Januari 2016, di halaman 4 dengan judul "Pergeseran Konfigurasi Penguasaan Partai".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com