Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Desakan MKD Beri Sanksi kepada Setya Novanto Menguat

Kompas.com - 16/12/2015, 08:29 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Desakan dari internal DPR agar Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menjatuhkan sanksi kepada Ketua DPR Setya Novanto semakin menguat.

Menurut rencana, MKD akan memutus perkara dugaan pelanggaran kode etik Novanto dalam rapat pleno tertutup, Rabu (16/12/2015) siang.

Sebelum keputusan diambil, 17 anggota MKD akan menggelar konsinyasi terlebih dahulu. Dalam konsinyasi itu, masing-masing anggota akan menyampaikan pendapat dan argumentasinya terkait persoalan yang telah ditangani sejak akhir November 2015 ini.

"Konsinyering (konsinyasi) itu sebenarnya seperti kebiasaan di MKD, manakala ada suatu kasus diputuskan di suatu namanya konsinyering. Pertemuan khusus agendanya tunggal untuk mengambil keputusan," kata anggota MKD, M Prakosa, di Kompleks Parlemen, Selasa (15/12/2015).

Jika nantinya Novanto dinyatakan bersalah, kecil kemungkinan sanksi yang diberikan berupa sanksi ringan. Sebelumnya, ia sudah pernah divonis bersalah menyusul pertemuannya dengan bakal calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

"Analoginya seseorang yang pernah dapat kasus sanksi ringan, kemudian ada pelanggaran lagi di kasus ringan, itu menjadi tidak ringan, walaupun konteks (kasusnya) berbeda," kata dia.

Mekanisme terkait akumulasi sanksi tersebut diatur di dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik. Di dalam Bab IV Pasal 19 ayat (3) dinyatakan, "Pelanggaran sedang adalah pelanggaran kode etik dengan kriteria sebagai berikut: a. Mengandung pelanggaran hukum b. Mengulangi perbuatannya yang telah dikenai sanksi ringan oleh MKD".

Meski demikian, menurut Ketua MKD Surahman Hidayat, belum semua anggota MKD satu suara terkait mekanisme akumulasi sanksi tersebut.

Untuk itu, kepastian atas penjatuhan sanksi kepada Novanto baru akan diketahui setelah MKD menggelar rapat pleno siang ini.

"Memakai pendekatan akumulatif, ada salah, diakumulasikan. Mungkin ada yang pakai pertimbangan yang lain," kata Surahman.

Gerakan #SaveDPR

Sekitar 30 anggota DPR dari tujuh fraksi mengambil langkah politik dengan menandatangani pernyataan sikap untuk mendesak Novanto mundur.

Tak hanya itu, mereka juga membagikan pita hitam bertuliskan #SaveDPR sesaat sebelum rapat paripurna dilangsungkan, kemarin.

Salah satu inisiator gerakan #SaveDPR, Ruhut Sitompul, mengatakan, gerakan ini diambil sebagai bentuk perlawanan atas polemik Freeport yang diduga melibatkan Wakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali itu.

Novanto sebelumnya dilaporkan Menteri ESDM Sudirman Said lantaran diduga meminta sejumlah saham kepada PT Freeport Indonesia dengan mengatasnamakan Presiden dan Wakil Presiden.

Permintaan itu disampaikan Novanto ketika berbincang dengan pengusaha Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, 8 Juni 2015 lalu.

"Novanto harus mundur. Kalau tidak mundur, 'muka badak' Novanto itu," kata anggota Fraksi Demokrat itu.

Selain Ruhut, anggota Fraksi Gerindra, Supratman, juga terlihat menggunakan pita hitam tersebut.

Namun, anggota MKD itu mengatakan, tindakan yang ia lakukan tidak ada kaitannya dengan sikap politik yang diambil oleh 30 anggota DPR lintas fraksi itu.

"Kalau secara umum, gerakan ini (#SaveDPR) saya dukung. Bagaimana kita melakukan upaya penyelamatan dan perbaikan terhadap internal DPR," kata dia.

Desakan mundur

Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengatakan, fraksinya tak akan melakukan intervensi apa pun kepada anggotanya yang bertugas di MKD.

Apa pun keputusan yang akan diambil MKD, itu menjadi wewenang penuh MKD.

Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan Arif Wibowo. Ia mengatakan, MKD merupakan alat kelengkapan Dewan yang kinerjanya diatur di dalam peraturan perundang-undangan.

Meski begitu, ia berharap agar dalam pengambilan keputusan MKD juga mempertimbangkan kondisi sosial yang berkembang di masyarakat.

"Tetapi, yang pasti, semangat anggota Dewan ialah menjaga harkat dan martabat DPR secara institusional, juga menjaga kehormatan," kata Arif.

Sementara itu, Ketua Fraksi Nasdem Vicktor Laiskodat mengatakan, jika melihat proses persidangan yang berlangsung di MKD, seharusnya Novanto divonis bersalah.

Ia pun berharap agar MKD dapat menjatuhkan sanksi berat.

Sekretaris Fraksi Hanura Dadang Rusdiana mengatakan, fraksinya telah sepakat agar sanksi yang dijatuhkan kepada Novanto ialah berupa pembebasan tugas sebagai Ketua DPR.

Status Novanto sebaiknya dikembalikan menjadi anggota biasa.

Dadang pun memprediksi, proses pengambilan keputusan akan berlangsung alot.

Sebab, sampai saat ini, masih ada sejumlah anggota MKD yang belum satu suara untuk menyatakan Novanto bersalah.

"Tetapi, tidak masalah juga karena mayoritas menginginkan ada pergantian pimpinan DPR. Kalau di MKD, petanya tinggal Golkar dan Gerindra saja, apalagi kalau di rapat paripurna, yang sepakat akan lebih banyak yang sependapat dengan kita," kata dia.

Wakil Ketua Fraksi PAN Hanafi Rais mengatakan, sejak kasus Novanto bergulir dan diusut MKD, wajah DPR telah tercoreng.

Untuk itu, ia mendukung agar Novanto dijatuhkan sanksi oleh MKD.

Ia mengingatkan agar keputusan yang akan diambil MKD mengedepankan asas keadilan. "Suara rakyat selama ini menginginkan perubahan supaya DPR lebih profesional dan etis. Jadi, itu yang dipegang," kata Hanafi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Presiden Jokowi Bakal Resmikan Modeling Budidaya Ikan Nila Salin di Karawang Besok

Presiden Jokowi Bakal Resmikan Modeling Budidaya Ikan Nila Salin di Karawang Besok

Nasional
Di Forum MIKTA Meksiko, Puan Bahas Tantangan Ekonomi Global hingga Persoalan Migran

Di Forum MIKTA Meksiko, Puan Bahas Tantangan Ekonomi Global hingga Persoalan Migran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com