Bahasa tak hanya dipersepsi sebagai realitas linguistik semata. Bahasa Indonesia dipilih untuk memperjumpakan keragaman dan meletakkan kepelbagaian sebagai kekayaan bangsa.
Dengan cara ini, mereka telah melampaui sekat atau demarkasi linguistik, lalu masuk ke dalam suatu ruang bersama, bercakap, membangun dialog, untuk membentuk suatu bangsa yang bineka.
Kalau kecakapan bertutur pada bahasa masing-masing adalah fakta alamiah makhluk yang bercakap-cakap (animal speaking), maka bersepakat memilih satu bahasa untuk membangun percakapan dan menyemai perjumpaan dalam relasi keberbedaan dan kepelbagaian adalah kehalusan dan ketinggian budi (bahasa) dan gerakan pemuliaan bahasa Indonesia.
Delapan puluh tahun lalu bahasa Indonesia memang telah dimuliakan, kemudian mengikat erat kita ke dalam rumah besar Indonesia, tetapi dalam satu-dua dekade terakhir kita mengamati begitu banyak tampilan berbahasa kita yang menarik sekaligus mencemaskan.
Menarik karena sebagai bangsa kita telah membawa bahasa nasional kita, bahasa Indonesia, ke tingkat kemajuan yang bisa mewadahi pertumbuhan peradaban Indonesia.
Bahasa Indonesia kini telah mengalami metamorfosis linguistik yang begitu hebat, dari bahasa pepatah-petitih menjadi bahasa yang lugas-rasional, dari bahasa yang "meliuk-liuk" ke bahasa yang lurus-linier, dari bahasa yang berkelimpahan menjadi bahasa yang ajek-padat.
Akan tetapi, di sisi lain, kemajuan bahasa ini mencemaskan karena saat yang bersamaan-dalam satu dekade terakhir, terutama setelah reformasi-kita pun menyaksikan bahasa Indonesia jadi begitu "binal".
Tindak-tutur kita dalam perhelatan pemilihan kepala daerah, dalam kegaduhan yang dipertontonkan elite politik, tindak-tutur kita dalam perkelahian antarpelajar dan antarmahasiswa, antarkampung, antara pedagang dan satuan polisi pamong praja, bukan lagi bahasa yang merangkul, bukan lagi bahasa yang mengajak, bukan pula bahasa yang memuliakan.
Bahasa kita pun jadi bahasa permusuhan, saling mengenyahkan, bahasa kelompok, bahasa yang menghinakan kemanusiaan kita.
Meski berjumpa, bahasa kita bukan bahasa dialogis, tetapi bahasa monologis. Kita bertutur dengan orang lain, tetapi kita tidak berdialog.
Bahasa kita adalah bahasa klaim. Berbahasa untuk memaksa didengarkan, tetapi enggan mendengarkan.
Bahasa kita adalah bahasa kelompok dan persona sosial kita adalah "kami" dan "mereka". Deiksis sosial kita adalah "di sini" dan "di sana".
Kami "di sini" dan mereka "di sana". Pula, ke-"di sini"-an dan ke-"di sana"-an bukanlah posisi koeksistensi, tetapi ruang oposisi, saling menyisihkan.