Oleh: Yudi Latif
JAKARTA, KOMPAS - Hidup di negara ini, warga harus semakin terbiasa untuk berdamai dengan kebingungan.
Kata dan kebijakan penyelenggara negara ibarat cermin retak; setiap pecahan memantulkan kedirian yang terbelah, dengan pernyataan yang tidak saling bersambungan.
Program bela negara baru saja diluncurkan pemerintah, di tengah "pembiaran" negara, khususnya pemerintah, terhadap keselamatan jutaan warga yang terancam kepungan asap.
Isu utama dalam persoalan asap ini bukan ketidakmampuan pemerintah untuk memadamkan api, karena memang pekerjaan pelik.
Masalahnya terletak pada ketidakberdayaan pemerintah dalam menindak perusahaan barbar pembakar hutan (lahan) dan tidak sigap dalam manajemen krisis.
Pola berulang pembakaran hutan dan lahan setiap tahun dalam skala masif mengindikasikan betapa otoritas negara sebagai institusi kebajikan publik tunduk pada kekuatan jahat perseorangan.
Perilaku pemerintah, yang membiarkan jutaan warga berbulan-bulan terkepung asap, mencerminkan ketidakhadiran negara dalam penderitaan dan keterancaman rakyatnya.
Semua itu merupakan pelanggaran pemerintahan negara terhadap kewajiban konstitusionalnya untuk melindungi bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Dalam situasi kebencanaan, sesungguhnya pemerintah bisa mendorong tentara nasional untuk menunaikan tugas-tugas humaniternya.
Dan, dalam keadaan genting yang mengancam keselamatan jutaan warga, tentara bisa membuktikan makna kehadirannya bagi bela negara-bela bangsa.
Yang terjadi, ketika pemerintahan negara gagal mengemban kewajibannya dalam bela negara dan perlindungan bangsa, pemerintah justru menuntut warga untuk terlibat dalam program bela negara.
Dalam kasus ini, watak negara belum beranjak dari mentalitas otoritarianisme: hanya pandai meminta rakyat untuk menunaikan kewajibannya tanpa kesediaan negara untuk memenuhi hak-haknya.
Tentang program bela negara sendiri, ada hal yang perlu diluruskan. Memang benar, menurut Pasal 30 (1) Undang-Undang Dasar 1945, "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara."
Meski demikian, usaha bela negara tidaklah identik dengan wajib militer.