Oleh: Gun Gun Heryanto
JAKARTA, KOMPAS - Jokowi ibarat narasi multimakna yang dibaca dan diinterpretasi secara berbeda-beda.
Tiap fase perjalanan Jokowi di puncak hierarki otoritas birokrasi pemerintahan menjadi perbincangan sekaligus evaluasi banyak kalangan.
Sudah satu tahun Jokowi memimpin Kabinet Kerja, tentu tak mudah memuaskan keinginan banyak orang.
Meminjam istilah Leslie Baxter dan Barbara Montgomery dalam bukunya Relating Dialogues and Dialectics (1996), situasi seperti ini sering menghadirkan dialektika relasional. Cirinya, kerap kali muncul ketegangan-ketegangan berkelanjutan.
Situasi penuh kontradiksi inilah yang membuat Jokowi wajib mencermati performa komunikatifnya di tengah pusaran harapan dan banyaknya kepentingan.
Pola interaksi
Hal terberat di fase awal pemerintahan Jokowi-JK tentu saja mengelola harapan publik yang sangat tinggi. Realitas politik dan ekonomi menghadirkan turbulensi lebih dini.
Jokowi dihadapkan pada tekanan politik sangat intens dari partai-partai di dalam dan di luar kekuasaan.
Pelambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan tekanan krisis ekonomi global membuat fase tinggal landas kabinet kerja tak menghadirkan impresi memadai.
Terlalu prematur menghakimi sukses tidaknya Jokowi hanya dari perjalanan satu tahun kinerja kabinet. Namun, ada hal serius saat di fase awal harapan publik cepat memudar akan berdampak pada tingkat dukungan masyarakat kepada Jokowi.
Realisasi sejumlah program jangka pendek dan menengah dapat menjadi indikator awal apakah gerbong pemerintahan Jokowi-JK melaju di rel yang tepat atau sebaliknya.