JAKARTA, KOMPAS - Di masa awal berkuasa, Presiden Joko Widodo sempat menuai simpati saat menggunakan referensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam memilih calon anggota kabinetnya. Publik meyakini, langkah Presiden ketika itu untuk memilih anggota kabinet yang tidak memiliki catatan negatif soal korupsi.
Namun, keyakinan tersebut mulai dipertanyakan saat Presiden menunjuk HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Sebab, meski pernah menjabat Jaksa Agung Muda Pidana Umum, setelah pensiun, Prasetyo terjun menjadi politikus Partai Nasdem. Apalagi, sebelumnya, ada pernyataan mantan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto bahwa Jaksa Agung yang akan dipilih adalah profesional hukum yang kredibilitasnya teruji.
Pertanyaan kembali muncul ketika Presiden menyodorkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Kepolisian Negara RI ke DPR. Tak berselang lama, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi.
Pasca penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK menjadi titik balik dukungan masyarakat sipil terhadap Presiden Jokowi. Euforia terhadap sosok Presiden Jokowi yang dinilai menjadi harapan baru bagi rakyat Indonesia mulai sirna. Para pegiat anti korupsi menilai, Presiden tak sepenuhnya berada di belakang KPK ketika lembaga anti rasuah itu diserang balik oleh polisi setelah penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka.
Apalagi, belakangan, dua pemimpin KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal Polri. Abraham disangka melakukan tindak pidana administrasi kependudukan, sementara Bambang disangka memerintahkan kesaksian palsu saat menjadi pengacara dalam sengketa pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi.
Publik sulit mengesampingkan penetapan dua pemimpin KPK sebagai tersangka ini bukan bagian dari reaksi kepolisian setelah Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Janji dalam Nawacita
Komitmen Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terhadap agenda pemberantasan korupsi, sebagaimana tertuang dalam sembilan agenda prioritas Nawacita yang dijanjikan saat kampanye pemilihan presiden, pun dipertanyakan. Poin keempat dari Nawacita tersebut berbunyi, "Kami akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi dan sistem penegakan hukum yang bebas korupsi, tepercaya, dan bermartabat".
Janji inilah yang dinilai publik belum terwujud dalam setahun pemerintahan Jokowi-Kalla. Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, pun meragukan komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan, kinerja aparat penegak hukum dalam menyidik kasus korupsi selama semester I tahun 2015 dinilai menurun. Sampai dengan semester I tahun 2015, aparat penegak hukum hanya mampu menaikkan 50,6 persen dari total 2.447 kasus korupsi pada tahap penyidikan ke penuntutan.
ICW juga menyatakan, aparat penegak hukum belum berhasil menyidik semua temuan Badan Pemeriksa Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang memiliki unsur pidana korupsi senilai Rp 59,8 triliun.
Menurut peneliti ICW, Wana Alamsyah, penurunan ini dipicu oleh menurunnya kuantitas dan kualitas kasus korupsi yang disidik KPK.
Belum maksimal
Pada saat yang sama, penegak hukum yang berada langsung di bawah kendali Presiden Jokowi juga belum maksimal dalam memberantas korupsi.
Dalam setahun terakhir, belum ada kasus korupsi besar di tangan Bareskrim Polri yang dilimpahkan ke tahap penuntutan. Kasus besar tersebut antara lain penjualan kondensat PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dengan BP Migas, pengadaan uninterruptible power supply (UPS) di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pembayaran elektronik atau payment gateway, pengadaan mobil derek PT Pelabuhan Indonesia II, dan program tanggung jawab sosial PT Pertamina. Dari kasus tersebut, hanya kasus UPS dengan tersangka Alex Usman yang sudah rampung dan dilimpahkan ke kejaksaan.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti memastikan semua kasus masih dalam proses penyidikan. Namun, Polri perlu berkoordinasi dengan sejumlah lembaga, seperti kejaksaan dan BPK, untuk penyelesaian kasus-kasus tersebut. "Kasus TPPI, contohnya, telah dilimpahkan ke kejaksaan oleh penyidik, tetapi kami masih menunggu total kerugian negara yang dikeluarkan oleh BPK," ujar Badrodin.
Situasi serupa terjadi di Kejaksaan Agung. Di awal Januari 2015, sesaat setelah HM Prasetyo dipilih Presiden sebagai Jaksa Agung, lembaga ini sempat menunjukkan harapan baru ketika Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi dibentuk Jaksa Agung.
Tim yang beranggotakan 100 jaksa ini pun gencar mengurus sejumlah tindak pidana korupsi, terutama mengungkap rekening gendut yang dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Bahkan, Prasetyo menyatakan, Kejaksaan Agung telah menyidik 24 kasus baru pada 2015 dan 88 kasus tunggakan tahun 2014. Kasus itu antara lain penyalahgunaan bantuan sosial dari APBD Cirebon dengan kerugian negara Rp 1,8 miliar; kasus pengadaan alat kontrasepsi di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional dengan kerugian Rp 4,4 miliar; kasus pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan di RSUD Raden Mattaher, Jambi, dengan kerugian negara Rp 2,5 miliar; proyek pengadaan program siap siar di TVRI dengan kerugian Rp 14 miliar; serta pengadaan mobil listrik di tiga BUMN.
Menimbang ulang
Namun, di tengah semangat memberantas tindak pidana korupsi, akhir Agustus lalu, pemerintah justru mengeluarkan pernyataan agar kebijakan pemerintah daerah dan pusat tidak bisa dipidanakan begitu saja.
Para penegak hukum, termasuk kejaksaan, menimbang ulang langkah yang dilakukan selama ini. Kejaksaan memilih memunculkan Tim Pengawal Pengamanan Pembangunan Pemerintah Pusat dan Daerah.
"Tim ini memberikan penyuluhan dan sosialisasi kepada birokrat terkait pengambilan kebijakan agar tidak melanggar hukum," ungkap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Widyopramono.
Akan tetapi, seperti apa tim tersebut bekerja, belum ada penjelasan rinci dari Kejaksaan Agung. Meski menilai pembentukan tim tersebut baik, komisioner Komisi Kejaksaan, Indro Sugianto, menyatakan, pola kerja tim itu harus dipaparkan secara jelas kepada masyarakat agar tidak menimbulkan pertanyaan yang berujung pada keraguan terhadap penegakan hukum.
Dengan berbagai catatan di seputar penegakan hukum selama setahun terakhir, kini publik menanti realisasi dari janji pemberantasan korupsi pasangan Jokowi-Kalla dalam Nawacita. (KHAERUDIN/IKHSAN MAHAR/RIANA IBRAHIM)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Oktober 2015, di halaman 4 dengan judul "Menanti Realisasi dari Janji Jokowi-Kalla dalam Nawacita".