Oleh: Bambang Kesowo
JAKARTA, KOMPAS - Sering terdengar kata yang bagai jargon dewasa ini: Revolusi Mental. Mental yang mana yang akan direvolusikan, dan bagaimana melakukannya?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi kedua; 1996), mental berarti (sesuatu yang bersangkutan dengan) batin atau watak. Jika demikian, mungkinkah pembentukan ataupun perubahan yang berkaitan dengan watak dan batin di-revolusi-kan? Kalau revolusi dimaknai sebagai gerak perubahan yang massal dan cepat, mental manakah yang akan diubah dengan tuntas dan cepat melalui revolusi? Ataukah kata revolusi harus dipahami dalam arti kiasan, sekadar pemanis dan "pendahsyat" kata, dan dengan demikian tak perlu dipikirkan dalam-dalam?
Ada penilaian bahwa selama ini telah berlangsung sedemikian banyak gerak yang salah tempat karena salah persepsi terhadap kata yang digunakan. Lebih mengkhawatirkan, kalau kata-kata yang dahulu digunakan sebagai jargon semasa pemilu/pilpres diterima massa pemilih karena mereka semula berpikiran sama tentang kata-kata itu, tetapi belakangan sadar ternyata pengertian dan persepsi mereka berbeda. Adanya kesenjangan pengertian dan persepsi mungkin saja terjadi karena sedari awal juga tak pernah ditegaskan dalam kampanye, mental (dan mentalitas) apa dan yang mana yang akan diubah melalui revolusi/secara revolusioner, dan bagaimana melaksanakannya.
Menarik diamati, di tengah kesimpangsiuran paham tentang soal ini, belum terdengar pandangan dari budayawan pemikir, seperti Goenawan Mohamad, Karlina Supeli, Yudi Latif, Ahmad Tohari, ataupun warga sepuh, seperti Ahmad Syafii Maarif, Franz Magnis-Suseno, Sayidiman Suryohadiprodjo, Daoed Joesoef, dan Jakob Oetama.
Gerakan bersifat nasional
Beberapa satuan kerja pemerintahan bagai berlomba menjadikannya slogan untuk menggambarkan "semangat kerja" mereka, dan mencoba mengartikulasikannya ke dalam konteks tugas teknis masing-masing. Kantor Menko Pengembangan Potensi Mahasiswa membangun web khusus walau hingga kini masih belum jelas apa arah, isi, dan fungsinya. Akankah sekadar jadi semacam mimbar umum (semacam Hydepark maya) untuk memfasilitasi wacana soal itu? Dari Kementerian Pertahanan juga terdengar selentingan bahwa program bela negara yang diinisiasinya adalah salah satu bentuk revolusi mental.
Di tembok Kantor Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi masih ditempel tulisan besar-besar "Revolusi mental birokrasi, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan melayani". Watak dan batin birokrasi yang mana? Bukankah hakikat birokrasi pemerintah adalah pelaksana kebijakan dan program pemerintah yang bertujuan membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik, maju, dan modern? Bukankah sebagai pamong pada dasarnya mereka memang harus melayani masyarakat?