Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anggota DPD Nilai Token Listrik Sulitkan Masyarakat Pelosok

Kompas.com - 16/09/2015, 22:06 WIB
Dylan Aprialdo Rachman

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Wakil Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah, Ahmad Nawardi, menilai keberadaan token listrik yang diluncurkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyulitkan masyarakat desa yang tinggal di daerah pelosok. Menurut dia, token listrik menjadi suatu kebutuhan sekaligus beban bagi masyarakat pelosok di tengah krisis ekonomi saat ini.

“Misal di daerah Madura atau Pacitan yang di pelosok-pelosok ini, kalau beli token lewat tetangga pasti harganya lebih mahal. Artinya kalo harganya Rp 100.000, beli di tetangga bisa dimahalin jadi Rp 110.000, harus menambah Rp 10.000, Rp 5.000 untuk tambah ongkos transportasi beli pulsa ke kota,” kata Ahmad dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (16/9/2015).

Ahmad menuturkan, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui penggunaan token listrik. Selain itu, PLN juga bersikap tidak transparan dalam menyediakan informasi terkait penetapan harga token listrik.

“Dikira pulsa listrik sama kayak beli pulsa telepon. PLN juga tidak transparan dalam menentukan tarif pulsa listrik yang ada. PLN juga tidak menyampaikan kepada publik berapa keuntungannya, berapa keuntungan yang didapat provider, berapa keuntungan yang didapat mitra-mitra kerja PLN, dan hal-hal lain,” kata dia.

Selain persoalan mahalnya harga token listrik, Ahmad menyebutkan permasalahan lainnya yaitu pemaksaan yang dilakukan oleh PLN terhadap masyarakat untuk menggunakan token listrik tanpa mendapatkan informasi detail seputar penetapan harga dan penggunaanya.

“Masyarakat dipaksa untuk membeli token tanpa masyarakat tahu berapa keuntungan, berapa yang harus dikeluarkan, pemaksaan ini menurut saya tidak benar. Saya sepakat dengan Pak Rizal Ramli agar PLN menyediakan pilihan bagi masyarakat dalam memilih apakah menggunakan token atau meteran,” ujarnya.

Menurut Ahmad, penggunaan listrik melalui sistem meteran jauh lebih murah dibandingkan dengan sistem token yang baru ini. Hal ini membuat masyarakat kalangan pedesaan dan daerah pelosok menyesal setelah menggunakan token listrik tersebut.

“Masyarakat ketika sudah awal-awal dulu di daerah, masyarakat tertarik. Tapi setelah tahu token lebih mahal, masyarakat tidak bisa kembali menggunakan meteran, ini yang sebenarnya menurut saya pemaksaan yang dilakukan oleh PLN,” ucapnya.

Ahmad menyarankan agar penetapan harga token listrik di perkotaan dan di pedesaan harus dibedakan karena tingkat daya beli yang berbeda. Selain itu, PLN perlu menyediakan tempat-tempat penjualan token listrik yang bisa mencapai wilayah pedesaan dan pelosok agar bisa dijangkau oleh masyarakat sekitar.

Kemudian, PLN harus memperbaiki pelayanannya serta menjalin kerjasama dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Desa hingga Koperasi Unit Desa untuk meningkatkan distribusi token listrik bagi masyarakat setempat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com