JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III Arsul Sani menilai bahwa usulan penghapusan hukuman mati yang diusulkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia hanya berdasarkan keyakinan ideologi komisionernya semata. Arsul menganggap, Komnas HAM tidak mempertimbangkan aspirasi masyarakat yang menginginkan keberadaan hukuman mati itu.
"Itu semata-mata hanya keyakinan ideologis komisionernya saja, tapi tidak memperhatikan aspirasi masyarakat," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senin (14/9/2015).
Politisi PPP itu menambahkan, Mahkamah Konstitusi di dalam putusannya beberapa waktu lalu juga menyatakan bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak melanggar konstitusi. Selain itu, ia mengatakan, pelaksanaan penjatuhan hukuman mati sesuai ketentuan KUHP sudah dimundurkan.
"Ini sudah dimundurkan dari pokok sendiri menjadi pidana pokok bersifat alternatif," ujarnya.
Dalam rapat dengar pendapat hari ini, Ketua Komnas HAM Nurcholis mengusulkan pelaksanaan hukuman mati di KUHP dihapus. Menurut dia, hukuman mati bertentangan dengan UUD 1945 amandemen kedua tentang jaminan atas hak hidup. Sebab, UUD secara tegas telah menyebutkan bahwa hak atas hidup adalah hak yang tak dapat dikurangi.
"Hak atas hidup merupakan hak asasi yang tak dapat dikurangi dalam kondisi apapun dan dengan alasan apapun," ujarnya.
Sementara itu, MK sudah dua kali menolak permohonan judicial review soal penghapusan hukuman mati. MK menegaskan, hukuman mati dibenarkan menurut UUD 1945 maupun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Hal itu terungkap dalam putusan MK mengenai pengujian Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Rabu (18/7/2012). Dalam putusan itu, MK menolak membatalkan frasa ”hukuman mati” dalam Pasal 365 Ayat (4) KUHP.
Permohonan ini diajukan dua terpidana hukuman mati Pengadilan Tinggi Pekanbaru, Raja Syahrial alias Herman alias Wak Ancam dan Raja Fadli alias Deli. Keduanya terbukti mencuri dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati.
Pemohon mendalilkan, hukuman mati melanggar hak hidup yang dijamin Pasal 28 A dan Pasal 28 I UUD 1945. Selain itu, pemohon mendalilkan bahwa pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan luka berat atau mati tidak termasuk kriminal serius.
MK berpendapat, pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya orang merupakan perbuatan kriminal serius karena menimbulkan ketakutan luar biasa pada masyarakat. Ketakutan itu sama dengan ketakutan karena narkoba.
Terkait hukuman mati yang dinilai melanggar Pasal 28 A dan Pasal 28 I, MK melakukan penafsiran sistematis terhadap hal tersebut. Hak asasi dalam dua pasal tersebut haruslah tunduk pada pembatasan hak yang diatur Pasal 28 J UUD 1945.
Sistematika ini sejalan dengan Deklarasi HAM Universal yang menempatkan pasal pembatasan HAM sebagai pasal penutup. MK pernah menolak menghapus hukuman mati pada 30 Oktober 2007 saat menguji permohonan penyelundup heroin ”Bali Nine” yang dihukum mati. Todung Mulya Lubis merupakan salah satu kuasa hukum pemohon.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.