JAKARTA, KOMPAS.com - Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Jimly Asshiddiqie berpandangan bahwa KPK saat ini perlu penguatan melalui konstitusi agar keberadaannya tak lagi diperdebatkan. Jimly mendorong KPK bisa diatur dalam UUD 1945 agar tak mudah dibubarkan.
"Kalau menurut saya, ini lembaga bisa dibuat permanen, saya setuju supaya orang tidak lagi mempersoalkan karena hanya dibentuk Undang-undang, maka dia (dianggap) sementara," kata Jimly dalam tes wawancara terbuka seleksi calon pimpinan KPK di Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (25/8/2015).
Menurut dia, pada saat amendemen terakhir UUD 1945 dilakukan pada tahun 2002, KPK juga sempat diusulkan untuk diatur di dalamnya. Namun, karena waktu yang singkat, KPK akhirnya tak jadi dimasukkan ke dalam konstitusi.
Meski tak masuk secara eksplisit dalam konstitusi, Jimly menyebut KPK masuk dalam kalimat "badan-badan lain" dalam UUD 1945 sehingga keberadaannya tak bisa dianggap hanya sementara.
Namun, untuk menghindari adanya perdebatan, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini mendorong agar dilakukannya lagi amendemen konstitusi yang lebih rinci dengan mencantumkan KPK.
Jimly menjelaskan, di dalam negara demokrasi yang modern ada tiga isu yang dianggap penting, yaitu soal HAM, lingkungan hidup, dan korupsi. Sehingga, kebutuhan penguatan pemberantasan korupsi tak lagi hanya sebuah wacana, tetapi sudah menjadi kebutuhan negara-negara besar.
"Ide-ide good government, ujung-ujungnya, ya korupsi ini. Jadi pemberantas korupsi itu modern, maka wajar lembaga penegaknya masuk dalam UUD. Saya punya keyakinan begitu tentang pentingnya memperkuat KPK, Komnas HAM, dan Lingkungan Hidup," imbuh Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu.
Berbeda dengan Megawati
Anggota Pansel KPK Harkristuti Harkristuti mengkaitkan sikap Jimly itu dengan sikap Ketua Umum PDI Perjuangan bahwa KPK lembaga sementara yang dapat dibubarkan jika tidak ada lagi korupsi di Indonesia. (baca: Megawati: Kita Harus Hentikan Korupsi sehingga KPK Dapat Dibubarkan)
"Berarti Anda punya sikap yang berbeda dengan bu Megawati?" tanya wanita yang biasa disapa Tuti itu.
Jimly tersenyum mendengar pertanyaan itu.
"Yah, beliau (Megawati) kan harus dipahami sebagai ekspresi kekecewaan bukan hanya Bu Mega, banyak politisi kita yang kesal dengan cara KPK bekerja. Makanya kita perbaiki cara bekerjanya untuk yakinkan orang agar KPK tak dibubarkan," imbuh Jimly.
Jimly merupakan satu di antara tujuh capim KPK yang menjalani tes wawancara terbuka bersama sembilan orang anggota Pansel hari ini. Proses wawancara terbuka dilakukan pada 24-26 Agustus dengan total peserta 19 orang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.