Diterimanya usulan penghapusan ini adalah suatu ijtihad besar dari seorang Hatta untuk meneguhkan bahwa ketika berbicara tentang kebangsaan, hal-hal yang berkaitan dengan sentimen agama, etnik, dan budaya harus dicairkan. Bahwa dalam frasa bangsa inheren di dalamnya realitas sosial yang heterogen dan negara tidak boleh melakukan pemihakan kepada salah satu kelompok. Negara harus berdiri menempatkan semua kelompok itu dalam posisi yang setara. Negara sebagai "bapak" yang mengayomi semua anak-anaknya, bangsa sebagai "ibu pertiwi" yang menyusui semua anak-anaknya dengan kasih yang tidak berbeda.
"Syariat" yang dicantumkan "Piagam Jakarta" bukan hanya dapat mengancam keutuhan berbangsa, melainkan juga tidak menutup kemungkinan bisa merontokkan semua sendi kehidupan bernegara. Warga negara akan terus bertikai memburu politik metafisis demi fantasi politik-keagamaannya sebagaimana pertikaian berdarah-darah yang berlangsung pada abad pertengahan dan berlangsung juga sampai hari ini di sebagian negara Timur Tengah.
Sekali "agama" (agama apa pun) menjadi ideologi negara, sejak itu tendensi memonopoli kebenaran akan berlangsung dan kaum penguasa menjadi punya alasan religius untuk menindas lawan-lawan politiknya yang dipandang melawan negara karena sekaligus otomatis dianggap melawan Tuhan.
Defisit moralitas
Di sinilah pentingnya kembali menghidupkan ajaran Bung Hatta, justru di tengah suasana perpolitikan bangsa kita yang sedang kehilangan arah dan role model. Pemimpin sangat melimpah, minimal yang mengaku-ngaaku sebagai pemimpin, tetapi yang sulit didapat itu adalah mencari pemimpin yang layak diteladani. Pemimpin yang mampu menyatukan kata dengan perbuatan.