Meski permohonannya ditolak, Dian memastikan KPI akan terus memperjuangkan agar aturan mengenai batas minimal usia perempuan yang akan melaksanakan perkawinan dinaikkan. Salah satunya melalui revisi undang-undang.
"Kami akan melakukan upaya hukum yang lainnya. Proses legislasi juga ditempuh dan kami tidak akan berhenti sepanjang itu demi keamanan dan pemenuhan hak dan kesejahteraan masyarakat. Terus terang, kami akan mengintervensi, karena dalam daftar Prolegnas, sudah ada perubahan UU Perkawinan. Maka kami akan mendorong agar usia perkawian dapat diubah," ujar Dian, saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Kamis (18/6/2015).
Menurut Dian, uji materi tersebut diajukan karena masih banyak perkawinan perempuan yang masih berusia anak, yang menimbulkan masalah. Misalnya, banyak anak yang minim pendidikan, karena putus sekolah saat menikah.
Selain itu, tingkat penurunan kesehatan reproduksi perempuan angkanya semakin tinggi, dan menyebabkan angka kematian ibu dan anak menjadi sangat tinggi. Hal lainnya adalah meningkatnya angka perceraian yang cukup tinggi, lantaran perkawinan yang belum matang dan bertahan hanya 1-2 tahun.
"Seharusnya pertimbangan MK berdasarkan pada pertimbangan konstitusi. Mereka justru lebih berpandangan pada aturan agama, sehingga rujukannya bukan pada konstitusi tetapi pada agama," kata Dian.
Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan uji materi mengenai batas usia perkawinan bagi perempuan. Dalam pertimbangan, hakim menyatakan bahwa kebutuhan batas usia khususnya bagi perempuan, disesuaikan dengan banyak aspek, seperti kesehatan, sosial, budaya dan ekonomi.
Tidak ada jaminan menaikkan batas usia akan mengurangi angka perceriaan, kesehatan dan masalah sosial lainnya. Selain itu, untuk mencegah perkawinan anak yang banyak menimbulkan masalah, menurut Mahkamah, tidak hanya dengan batasan usia semata.
Tidak tertutup kemungkinan jika didasarkan pada berbagai perkembangan aspek sosial ekonomi, budaya dan teknologi, usia 18 tahun bisa dianggap lebih rendah atau malah lebih tinggi. Para pemohon melakukan uji materi Pasal 7 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pemohon berpendapat, aturan tersebut telah melahirkan banyak praktik perkawinan anak, khususnya anak perempuan sehingga mengakibatkan perampasan hak-hak anak, terutama hak untuk tumbuh dan berkembang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.