Karena itu, kewenangan menteri di bidang hukum yang dimandatkan presiden tidak boleh memiliki implikasi merugikan negara. Pemerintah dalam merumuskan aturan pemberian remisi tidak sekadar dari perspektif hak pelaku saja, sedangkan kepentingan korban diabaikan.
Rakyat adalah korban (victim) yang mengalami dampak determinan dari korupsi. Masyarakat setiap tahun menyetor pajak ke kas negara. Sebagian uang itu digunakan pemerintah untuk ongkos pemberantasan korupsi. Bahkan, secara matematika, ongkos pemberantasan korupsi jauh lebih mahal ketimbang uang yang dikembalikan koruptor. Negara harus mengucurkan dana operasional KPK, kejaksaan, Pengadilan Tipikor, dan lembaga pemasyarakatan yang kesemuanya itu bersumber dari pajak rakyat. Rakyat sengsara, bukan?
Dalam situasi demikian, Presiden harus segera mengambil alih persoalan ini dengan bersikap tegas menolak rencana revisi peraturan pemberian remisi koruptor. Janji politik di bidang penegakan hukum yang pernah didengungkan di masa kampanye harus jadi lonceng pengingat yang tak boleh diingkari. Jika tidak, janji itu tak lebih sekadar limbah sejarah dan akan dicatat jadi legasi terburuk karena tak ada komitmen melawan lupa.
Achmad Fauzi
Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara
* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Senin (6/4/2015).