Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revolusi Pancasila

Kompas.com - 16/03/2015, 15:10 WIB

Pada tingkat struktural, kecenderungan untuk mengadopsi model-model demokrasi ”liberal” tanpa menyesuaikannya secara saksama dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia justru dapat melemahkan demokrasi.

Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan dan kesejahteraan, pilihan desain demokrasi kita justru sering kali memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Situasi ini kian memburuk dengan menguatnya penetrasi neoliberalisme yang memperkuat individualisme dan memaksakan relasi pasar dalam segala bidang kehidupan. Kekuatan demokrasi perwakilan menjadi lumpuh ketika kepentingan minoritas pemodal lebih aktif dan ampuh mengendalikan politik daripada institusi-institusi publik.

Demokrasi tidak lagi menjadi sarana efektif bagi kekuatan kolektif untuk mengendalikan kepentingan perseorangan, malahan berbalik arah menjadi sarana efektif bagi kepentingan perseorangan untuk mengontrol institusi dan kebijakan publik; res publica (urusan umum) tunduk di bawah kendali res privata (urusan privat).

Dengan demikian, yang kita dapati di seberang jembatan emas kemerdekaan adalah jalan bercabang dua. Jalan yang satu adalah jalan mulus bagi segelintir orang yang hidup berkelimpahan; sama dapat, sama bahagia; sedangkan jalan yang satu lagi adalah jalan terjal bagi kebanyakan orang yang hidup berkekurangan; sama ratap, sama sengsara.

Semangat persaudaraan kebangsaan sejati hancur. Warga berlomba mengkhianati negara dan sesamanya; rasa saling percaya pudar karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh tak mampu meredam penyalahgunaan kekuasaan; ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Semuanya berujung pada kegelapan dan kebiadaban: kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan. Keadaan demikian akan mengantarkan negara ini ke tubir jurang perpecahan dan kebinasaan. Pilihannya, apakah kita biarkan Indonesia hancur atau bangkit bertempur.

Pengalaman ketertindasan, diskriminasi, dan eksploitasi memang pantas disesali dan dimusuhi. Namun, manusia tidaklah hidup sekadar untuk memerangi keburukan. Mereka hidup dengan tujuan yang positif, untuk menghadirkan kebaikan.

Kebiasaan kita untuk mengutuk masa lalu dengan mengulanginya, bukan dengan melampauinya, membuat perilaku politik Indonesia tak pernah melampaui fase kekanak-kanakannya (regressive politics).

Melampaui masa lalu diperlukan konsepsi patriotisme yang lebih progresif. Patriotisme yang tidak cuma bersandar pada apa yang bisa dilawan, tetapi juga pada apa yang bisa ditawarkan. Proyek historisnya bukan hanya menjebol, melainkan juga membangun, memperbaiki keadaan negeri. Itulah tugas historis generasi pelanjut!

Apa yang harus dilakukan?

Akutnya krisis yang melanda bangsa ini mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya kita memerlukan lebih dari sekadar jawaban politik biasa (politics as usual) yang bersifat tambal sulam. Bobot krisis yang begitu luas cakupannya dan dalam penetrasinya ini hanya bisa dipecahkan melalui penjebolan dan penataan ulang secara mendasar sistem bernegara.

Semuanya ini memanggil para patriot bangsa untuk menghidupkan kembali api revolusi; mengarungi dinamika, romantika, dan logika revolusi; yang sejalan dengan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri.

Keberhasilan revolusi nasional yang dipimpin oleh para pendiri bangsa dalam mencapai kemerdekaan Indonesia harus dilanjutkan dengan revolusi sosial untuk mewujudkan perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Revolusi nasional berhasil berkat usaha para pejuang bangsa untuk ”mempancasilakan revolusi”.

Artinya, revolusi kemerdekaan itu didarahi dengan semangat inklusif moral Pancasila melalui pengikatan komitmen bersama dari seluruh elemen revolusioner lintas etnis, agama, ideologi, dan kelas sosial.

Keberhasilan revolusi sosial tidak cukup dengan cara "mempancasilakan revolusi"; malah yang lebih mendesak adalah cara "merevolusikan Pancasila". Artinya, Pancasila tidak cukup sebagai alat persatuan, tetapi juga harus menjadi praksis-ideologis yang memiliki kekuatan riil dalam melakukan perombakan mendasar pada ranah material dan mental sebagai katalis bagi perwujudan keadilan sosial.

Singkat kata, apa yang harus kita lakukan adalah mengobarkan Revolusi Pancasila!

Yudi Latif
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BNBP: Sumatera Barat Masih Berpotensi Diguyur Hujan Lebat hingga 20 Mei 2024

BNBP: Sumatera Barat Masih Berpotensi Diguyur Hujan Lebat hingga 20 Mei 2024

Nasional
Alexander Sarankan Capim KPK dari Polri dan Kejaksaan Sudah Pensiun

Alexander Sarankan Capim KPK dari Polri dan Kejaksaan Sudah Pensiun

Nasional
Draf RUU Penyiaran: Masa Jabatan Anggota KPI Bertambah, Dewan Kehormatan Bersifat Tetap

Draf RUU Penyiaran: Masa Jabatan Anggota KPI Bertambah, Dewan Kehormatan Bersifat Tetap

Nasional
Latihan TNI AL dengan Marinir AS Dibuka, Pangkoarmada I: Untuk Tingkatkan Perdamaian

Latihan TNI AL dengan Marinir AS Dibuka, Pangkoarmada I: Untuk Tingkatkan Perdamaian

Nasional
Siapkan Sekolah Partai untuk Calon Kepala Daerah, PDI-P Libatkan Ganjar, Ahok hingga Risma

Siapkan Sekolah Partai untuk Calon Kepala Daerah, PDI-P Libatkan Ganjar, Ahok hingga Risma

Nasional
Sektor Swasta dan Publik Berperan Besar Sukseskan World Water Forum Ke-10 di Bali

Sektor Swasta dan Publik Berperan Besar Sukseskan World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
BNPB Minta Warga Sumbar Melapor Jika Anggota Keluarga Hilang 3 Hari Terakhir

BNPB Minta Warga Sumbar Melapor Jika Anggota Keluarga Hilang 3 Hari Terakhir

Nasional
Nurul Ghufron Akan Hadiri Sidang Etik di Dewas KPK Besok

Nurul Ghufron Akan Hadiri Sidang Etik di Dewas KPK Besok

Nasional
LHKPN Dinilai Tak Wajar, Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Dicopot dari Jabatannya

LHKPN Dinilai Tak Wajar, Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Dicopot dari Jabatannya

Nasional
Alexander Sebut Calon Pimpinan KPK Lebih Bagus Tidak Terafiliasi Pejabat Maupun Pengurus Parpol

Alexander Sebut Calon Pimpinan KPK Lebih Bagus Tidak Terafiliasi Pejabat Maupun Pengurus Parpol

Nasional
Polri Siapkan Skema Buka Tutup Jalan saat World Water Forum di Bali

Polri Siapkan Skema Buka Tutup Jalan saat World Water Forum di Bali

Nasional
KPU: Bakal Calon Gubernur Nonpartai Hanya di Kalbar, DKI Masih Dihitung

KPU: Bakal Calon Gubernur Nonpartai Hanya di Kalbar, DKI Masih Dihitung

Nasional
Korban Meninggal Akibat Banjir Lahar di Sumatera Barat Kembali Bertambah, Kini 44 Orang

Korban Meninggal Akibat Banjir Lahar di Sumatera Barat Kembali Bertambah, Kini 44 Orang

Nasional
KPK Duga Negara Rugi Rp 30,2 M Karena 'Mark Up' Harga Lahan Tebu PTPN XI

KPK Duga Negara Rugi Rp 30,2 M Karena "Mark Up" Harga Lahan Tebu PTPN XI

Nasional
Kejagung Periksa Pihak Bea Cukai di Kasus Korupsi Impor Gula PT SMIP

Kejagung Periksa Pihak Bea Cukai di Kasus Korupsi Impor Gula PT SMIP

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com